Indonesia menjadi salah satu negara penghasil sumber daya alam yang beraneka ragam. Keanekaragaman kekayaan alam tersebut mencakup bahan pertambangan, seperti hasil pertambangan minyak bumi, batubara hingga hasil mineral. Hasil pertambangan dihasilkan melalui sebuah usaha pertambangan pada sebuah wilayah pertambangan.
Berdasarkan Pasal 1 angka (29) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara disebutkan definisi wilayah pertambangan yaitu wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
Usaha Pertambangan sebagai salah satu bentuk kegiatan usaha dalam pendiriannya harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan hidup di sekitarnya sehingga berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) disebutkan harus memenuhi berbagai persyaratan. Salah satunya adlaah harus memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL).
Selain terhadap persyaratan-persyaratan terkait, apabila telah dijalankan usaha pertambangan pada wilayah pertambangan terdapat sebuah permasalahan yang muncul. Wilayah pertambangan seringkali didirikan bukan pada sebuah tempat yang steril tanpa kehidupan makhluk hidup yang bersinggungan dalam kegiatan industri. Sehingga, di dalam UU PPLH dikenal terminologis Wilayah Ekoregion sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7. Wilayah Ekoregion merujuk kepada wilayah daratan maupun wilayah perairan yang berhubungan dengan kehidupan biota maupun bioma.