Dalam hal ini yang salah adalah orang yang bersangkutan dan hakim tersebut. Sedangkan orang yang tidak memiliki kekuasaan, mereka tidak bisa melakukan tindakan tersebut. Mereka akan pasrah di dalam persidangan mengenai hukuman apa yang ditentukan oleh hakim. Namun apabila orang yang berkuasa atau memiliki uang, mereka akan diberi hukuman yang ringan oleh hakim atau bisa saja mereka tidak bersalah dihadapan hakim. Di sini lah peran kode etik dihiraukan oleh penegak hukum.
Banyak terjadi penyimpangan penyimpangan dalam pemberlakuan hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kasus hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi yaitu Syamsul Rakan Chaniago. Dilansir dari laman cnnindonesia.com, Mahkamah Agung (MA) menyatakan hakim Ad hoc Tindak Pidana Korupsi yang mengadili kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), Syamsul Rakan Chaniago terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Syamsul merupakan salah satu majelis hakim kasasi yang menangani kasus dugaan korupsi BLBI dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temengung (SAT). Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan atas pelanggaran dilakukan Syamsul karena dia mengadakan kontak hubungan dan pertemuan dengan Ahmad Yani, Pengacara SAT di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019.
Padahal, saat itu Syamsul sedang menjadi anggota majelis hakim yang mengadili SAT. “Hakim Syamsul Rakan Chaniago masih tercantum atas namanya di kantor lawfirm walau yang bersangkutan sudah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor pada MA,” kata Andi seperti dikutip dari Antara, Minggu (29/9).
Atas alasan tersebut Syamsul Rakan Chaniago dikenakan sanksi etik sedang berupa hakim non palu selama enam bulan. Sebagai informasi pada 9 Juli 2019 lalu, majelis kasasi yang terdiri atas hakim Salman Luthan selaku ketua dengan anggota hakim Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin memutuskan SAT tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus BLBI. Putusan tersebut menganulir vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan tinggi Jakarta.
Sebelumnya, putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 24 September 2018 menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Syafruddin Arsyad Temenggung. Sedangkan pada 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis Syafruddin menjadi pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Atas putusan MA tersebut, SAT langsung dibebaskan pada Juli lalu.
Kesimpulan
Kasus yang seperti diatas adalah salah satu contoh tindakan melanggar kode etik profesi khusunya dibidang profesi hukum. Dikutip dari laman kompas.com, Komisi Yudisial menerima 1.544 aduan dari masayarakat mengenai dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada tahun 2019. Tetapi, hanya 224 laporan yang dinyatakan memenuhi syarat laporan.