Walaupun begitu, aksi massa masih berlanjut, mereka mengepung asrama Papua mulai pukul 16.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB san berhasil dibubarkan oleh polisi. Diketahui pada pukul 02.00 WIB terdapat mahasiswa yang mengantarkan makanan ke asrama untuk penghuni yang terjebak di dalam, akan tetapi ketika keluar dari asrama mereka ditangkap oleh Polisi yang berjaga diluar.
Pada pagi harinya pukul 10.00 WIB, aparat kepolisian mulai melakukan pengepungan ke Asrama Papua, tetapi berdasarkan keterangan perwakila AMP kawan kawan Papua masih merasa terintimidasi dengan keberadaan aparat dan pihak pihak yang ada di luar asrama. Hal hal tersebutlah yang memicu polisi melakukan penggeledahan dan melemparkan gas air mata. Polisi melakukan penggeledahan dengan menggunakan pakaian lengkap bersenjara seperti hendak menangkap teroris. Hasil dari penggeledahan ini adalah ditangkapnya 43 mahasiswa dan diamanlan ke Mapolestabes Surabaya dan kemudian di bebaskan pada jam 00.00 pada tanggal 18 Agustus 2019.
Selain peristiwa yang terjadi tersebut, beredar berita hoax [3]yang menyatakan bahwa telah terjadi pengusiran mahasiswa Papua di Surabaya dan telah terjadi penangkapan 2 mahasiswa papua yang menuntut untuk di bebaskan, bahkan beredar berita bahwa terdapat mahasiswa Papua yang tewas kaena penembakan gas air mata, termasuk juga kata kata kurang pantas dan rasial yang dikeluarkan oleh Ormas yang menghina warga Papua. Karena berita ini, terjadilah kerusuhan di Manokwari yang melluas hingga Jayapura, Sorong, Makassar, Fakfak, Mimika dan Nabire.
Tindakan penggeledahan menggunakan pakaian lengkap dan bersenjaa beserta penyiraman gas air mata kedalam asrama mahasiswa Papua ini dinilai terlalu mengintimidasi. Pada dasarnya penembakan gas air mata diperbolekhan untuk mengamankan korban agar tidak mengalami luka yang lebih parah, hal ini tertera dalam pasal 47 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Dalam pasal ini yang dimaksudkan adalah untuk melindungi koban, maka yang seharusnya menjadi sasaran gas air mata adalah massa yang dikhawatirkan membuat situasi semakin kacau.
Salah satu penyebab kerusuhan adalah ujaran rasial yang dilontarkan pada saat pengepungan terhadap mahasiswa papua. Dalam hal ini para pengepung melontarkan kata-kata “monyet”. Hal ini bisa disebut tindakan diskriminatif terhadap suatu Ras Etnis seperti yang disebutkan pada pasal e4b UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Deskriminasi. Bahkan pada tanggal 18 Agustus 2020 kemarin ratusan mahasiswa asal Papua dari Malang dan Suraaya menggelar aksi memperingati peristiwa rasialisme yang menimpa mereka satu tahun lalu.
Para mahasiswa ini membentangkan poster yang bertuliskan “Memperingati Satu Tahun Hari Kera, Kejadian Rasis” dan “Hentikan Rasialisme terhadap rakyat Papua”. Hal hal diatas menunjukan bahwa rasialisme yang dialami oleh rakyat Papua masih juga tinggi dan rasialisme juga dialami para Mahasiswa Papua yang merantau di pulau Jawa.
Angka partisipasi pendidikan di Papua untuk tingkat perguruan tinggi masih cukup rendah, yaitu sekitar 18 persen dimana angka ini jauh dari rata rata nasional yang sebesar 31,5 persen. Maka dari itu pemuda pemuda Papua berusaha mengenyam pendidikan di perguaruan tiggi dan merantau ke Pulau Jawa untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang jauh lebih baik lagi. Tujuan mereka merantau adalah untuk menuntut ilmu, akan tetapi mereka juga harus berusaha keras melawan rasialisme yang masih saja ada untuk mendekriminatif mereka dari masyarakat. Dari kasus ini dapat kita ketahui bahawa tujuan awal Soekarno untuk menggabungkan Papua dan Inodonesia dengan tujuan mensejahterakan papua belum tercapai.