By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Kawan Hukum Indonesia
  • CURRENT ISSUES
  • SPOTLIGHTS
  • INSIGHTS
  • LAWSTYLE
  • FUN FACTS
Reading: Optimalisasi Mediasi Penal Sebagai Alternatif Terbatasnya Kapasitas Lapas di Indonesia
Share
0

Tidak ada produk di keranjang.

Notification
Latest News
Dilema Presidential Treshold: Dihapus atau Dikurangi?
2 hari ago
Polemik Penerapan Hukuman Mati dan Hak Untuk Hidup
6 hari ago
Konvensi Jenewa sebagai Sumber Hukum Humaniter Internasional
1 minggu ago
Negara dalam Hukum Internasional
1 minggu ago
Mengenal Leges Duodecim Tabularum: Hukum Tertulis Pertama Romawi Karena Konflik Antarkelas
2 minggu ago
Kawan Hukum Indonesia
  • Current Issues
  • Spotlights
  • Insights
  • Fun Facts
Search
  • Pengantar Ilmu Hukum
  • Pengantar Hukum Indonesia
  • Etika Profesi Hukum
  • Bantuan Hukum
  • Hukum Acara
  • Hukum Konstitusi
  • Hukum Administrasi
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Contact
  • Complaint
  • Advertise
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Kawan Hukum Indonesia > Current Issues > Optimalisasi Mediasi Penal Sebagai Alternatif Terbatasnya Kapasitas Lapas di Indonesia
Current Issues

Optimalisasi Mediasi Penal Sebagai Alternatif Terbatasnya Kapasitas Lapas di Indonesia

eadiwaluyo 8 bulan ago
Updated 2021/11/04 at 11:34 PM
Share
SHARE

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Blok C II mengalami kebakaran pada Rabu 8 September 2021 sekitar pukul 01.45 WIB.  Kebakaran tersebut merenggut nyawa 41 warga binaan yang di antaranya terpidana kasus pembunuhan, terorisme, dan narkoba. Sementara itu, 81 warga binaan lainnya selamat dengan 72 orang luka ringan dan delapan orang luka berat dirawat di sejumlah rumah sakit. Pemerintah mengakui lalai atas insiden kebakaran tersebut. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, Lapas Kelas I Tangerang yang sudah dibangun sejak 1972 ini justru kini melebihi kapasitas bahkan hingga 400 persen dengan penghuni 2072 orang.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kapasitas Lapas pada tahun 2019 di seluruh Indonesia sekitar 125 ribu jiwa, tapi realisasinya dihuni oleh 249 ribu narapidana atau kelebihan kapasitas sebesar 99%. Berdasarkan data dari Mahkamah Agung sampai dengan bulan Mei 2021, Mahkamah Agung telah memproses 580.518 perkara pidana umum dengan putusan atas perkara pidana umum yang telah putus sebanyak 23.750 putusan.

Hal tersebut menunjukan bahwa masih banyak perkara pidana yang masuk ke pengadilan belum selesai akibat terlalu banyak perkara yang diselesaikan secara litigasi. Padahal, hal tersebut bisa diselesaikan cukup dengan jalur non litigasi dan pada akhirnya keadilan bagi para korban maupun pelaku masih tidak jelas.

Peristiwa di lapas over capacity tersebut maupun seperti yang sudah-sudah seharusnya tidak akan terjadi jika sejak awal pemerintah mengedepankan dan serius menerapkan restorative justice khususnya mediasi penal. Selama ini hukum pidana dijalankan aparat hukum secara normatif  dan diproses secara konvensional yaitu selalu melalui jalur pengadilan.

Padahal hukum pidana merupakan ultimum remidium (upaya akhir) di saat terdapat opsi penyelesaian non litigasi. Opsi tersebur berupa mediasi yang pada umumnya ada di hukum perdata tetapi pada hakikatnya bisa diterapkan di hukum pidana terkait tujuan merestorasi/memulihkan pelaku pidana nantinya di masyarakat berdasarkan konsep restorative justice yang dituangkan secara substansi pada mekanisme mediasi penal.

Contoh penerapannya pada kasus anak dibawah umur, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Hak Cipta dan Paten.  Keadilan restoratif lebih menekankan pada penyelesaian masalah antar pihak dalam hubungan sosial daripada menghadapkan pelaku dengan aparat pemerintah/penegak hukum.

Secara umum perkara pidana yang biasa menggunakan jalur non litigasi adalah perkara yang diatur dalam ketentuan pada pasal 310 KUHP (penghinaan/pencemaran nama baik), pasal 311 KUHP (fitnah), Pasal 351 KUHP (penganiayaan), pasal 352 ayat (1) KUHP (Penganiayaan ringan), Pasal 359 KUHP (karena kealpaan menyebabkan matinya orang), pasal 372 KUHP (penggelapan), Pasal 378 KUHP (penipuan), pasal 285 KUHP (perzinahan), pasal 332 KUHP (melarikan gadis di bawah umur), dan 367 ayat (2) KUHP (pencurian yang dilakukan oleh anggota keluarga), maupun Pasal 156a KUHP (Penistaan Agama), serta delik pidana yang diatur di luar KUHP.

Tetapi, dalam Undang-Undang seperti UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek terkait pemalsuan merek, kekerasan dalam rumah tangga (UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), terkait uang politik (UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan:

“(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Dalam hal ini polisi membutuhkan penggunaan diskresi karena ia bukan hanya aparat penegak hukum, tetapi juga penjaga ketertiban yang bertugas menjaga kedamaian dan ketertiban secara umum.

Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi dalam bentuk mediasi memiliki keuntungan yaitu peroleh yaitu:

  1. Untuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan;
  2. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa;
  3. Untuk memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat;
  4. Untuk memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi;
  5. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah;
  6. Bersifat tertutup/rahasia (confidential);
  7. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik;
  8. Mengurangi merebaknya “permainan kotor” dalam pengadilan

Perkara pidana yang di selesaikan melalui mediasi disebut juga sebagai mediasi penal. Mediasi penal sendiri dapat diartikan sebagai penyelesaian perkara pidana lewat dipertemukannya pihak korban dengan pelaku tindak pidana untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara membuat kesepakatan diantara para pihak ( win-win solution ).

Penyelesaian secara non litigasi dalam hukum acara pidana mengenal adanya mediasi penal yang berbeda dengan mediasi pada hukum perdata. Beberapa  kategorisasi  sebagai  tolok  ukur  dan  ruang  lingkup  terhadap  perkara  yang  dapat  diselesaikan  di  luar  pengadilan  melalui Mediasi Penal adalah sebagai berikut:

  1. Pelanggaran hukum  pidana  tersebut  memiliki  pidana  denda  sebagai  ancaman  pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
  2. Pelanggaran hukum  pidana  tersebut  termasuk  kategori  “pelanggaran”,  bukan  “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
  3. Pelanggaran hukum  pidana  tersebut  termasuk  tindak  pidana  di  bidang  hukum  administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
  4. Pelanggaran hukum  pidana  tersebut  termasuk  kategori  ringan/serba  ringan  dan  aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
  5. Pelanggaran hukum   pidana   biasa   yang   dihentikan   atau   tidak   diproses   ke   pengadilan  oleh  Jaksa  Agung  sesuai  dengan  wewenang  hukum  yang
  6. Pelanggaran hukum  pidana  tersebut  termasuk  kategori  pelanggaran  hukum  pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.

Melihat salah  satu  upaya  penerapan  keadilan  restoratif  yang  dapat  dilakukan  oleh aparat hukum yaitu kepolisian  dalam  memaksimalkan  penyelesaian  dengan  menggunakan  mekanisme  mediasi   Penal.

Perbedaan Mediasi Perdata dan Mediasi Penal:

  1. Mediasi perdata fokus terhadap permasalahan dan kesepakatan sedangkan mediasi penal fokus terhadap dialog dan hubungan
  2. peran mediator pada mediasi perdata adalah mengarahkan dan membimbing para pihak untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan sedangkan mediasi pidana yaitu menyiapkan korban dan pelaku agar mempunyai harapan yang realistis dan merasa cukup aman untuk berdialog secara langsung.

Penerapan model mediasi penal sebagai bagian proses sistem peradilan pidana (SPP), dapat dilakukan sebagai berikut:

  1. Mediasi penal pada tahap penyidikan tindak pidana,
  2. Mediasi penal pada tahap penuntutan,
  3. Mediasi penal pada tahap pelaku menjalankan sanksi pidana penjara,

Namun pelaksanaan mediasi penal yang dimulai dari tahapan penyidikan kepolisian memiliki hambatan yang sering menjadi kendala dalam penerapannya. Faktor yang menghambat berjalannya Mediasi Penal melalui pendekatan Restorative Justice sebagai upaya meminimalisir kelebihan hunian (over capacity) yang dimulai dari tahapan penyidikan kepolisian diantaranya adalah:

  1. Faktor perundang-undangan, yaitu belum adanya undang-undang yang mengatur upaya yang harus dilakukan apabila terjadi penolakan perdamaian oleh korban atau keluarga korban.
  2. Faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah anggota dalam menangani tindak pidana dan secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik dalam menerapkan perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana.
  3. Faktor masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban menolak perdamaian dan menginginkan agar pelaku tindak pidana sebagai pelaku tindak pidana tetap diproses secara hukum.

Konsep restorative justice belum memiliki payung hukum yang kuat dalam peraturan perundang-undangan karena penjatuhan sanksi dalam hukum acara pidana terdiri atas restitusi, mediasi pelaku dan korban, pelayanan korban, restorasi masyarakat, pelayanan langsung pada korban, denda restoratif. Semua itu tersirat dalam kewenangan polisi sebagai penegak hukum dalam menentukan suatu penyelesaian perkara pidana di tahap awal karena selama ini sanksi yang diberikan bersifat retributif yang mana tidak juga membuat jera si pelaku pidana.

Untuk dapat mewujudkan restorative justice para aparat hukum harus melihat penerapan ketentuan peraturan secara progresif bukan normatif. Selama ini karena hal tersebut tidak menunjukan adanya kemajuan dalam perkembangan hukum acara pidana yang ada. Dapat kita lihat Lapas semakin penuh di saat sudah tidak bisa menampung lagi yang menyebabkan masalah baru kembali.

Pada sisi lain, keadilan terasa masih jauh untuk setiap orang serta tidak tercapainya tujuan hukum pidana itu sendiri untuk kedamaian, keamanan, dan kesejahteraan. Oleh karenanya, selama belum ada payung hukum atas wujud restorative justice tersebut dapat digunakan mekanisme mediasi penal dalam menangani perakra-perkara pidana tertentu.

Di saat terbukti negara-negara lain menerapkan restorative justice pada konstitusinya, bangsa Indonesia memegang teguh budaya saling memaafkan sesuai ajaran Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sehingga perlulah konsep restorative justice sebagai bagian dari nilai luhur bangsa Indonesia diterapkan dalam RKUHAP.

Dalam hal ini perlu ada peningkatan pendidikan dan pelatihan polisi serta hakim mengenai pentingnya konsep keadilan restoratif terus menerus, agar kedepan melahirkan para penegak hukum yang kritis dan progresif mengikuti perkembangan zaman menggali nilai-nilai di masyarakat yang selalu berkembang dalam menegakkan hukum yang pasti dan adil. Juga, mengedepankan mekanisme mediasi pada tahap penyidikan maupun penjatuhan sanksi pidana oleh hakim yang mengedepankan keadilan restorasi bagi si pelaku.

Hal ini bertujuan agar nantinya dapat menyelesaikan permasalahan lapas yang selalu kelebihan kapasitas serta ketentuan restorative justice dapat diterapkan dalam RKUHAP pada bagian penjelasan untuk penghentian penyidikan dapat dibunyikan adanya mekanisme mediasi penal, dimana terbuka juga peluang untuk perkara-perkara lainnya.

RKUHAP sangat penting untuk untuk mendorong terselenggaranya sistem peradilan pidana yang akuntabel, terbuka, integratif, dan menjamin pemenuhan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban kejahatan sehingga tercipta keseimbangan perlindungan antar kepentingan, yakni kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Perma No. 1 Tahun 2016, LN No. 175 Tahun 2016

Indonesia, Undang Undang Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun 1981 TLN No. 3209

Indonesia,  Undang-Undang  tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 Tahun 1999 . LN No. 138 Tahun 1999 TLN No. 3872

Indonesia, Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU Nomor 16 Tahun 2004  LN No. 67 Tahun 2004 TLN No. 4401

Indonesia,  Undang-Undang tentang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11 tahun 2012 .  LN 153 Tahun 2012 TLN No. 5332

Indonesia, Undang-Undang  Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU Nomor 2 Tahun 2002.  LN No. 2 Tahun 2002 TLN 4168

Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Cipta. UU Nomor 28 tahun 2014 . LN No. 266 Tahun 2014 TLN 5599

Indonesia, Undang-Undang tentang Paten. UU No. 13 Tahun 2016. LN 176 Tahun 2016 TLN 5922

 

Buku

Andi Sofyran dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana : Suatu Pengantar (Jakarta: Kencana, 2014)

Fatahillah A. Syukur, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga): Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, (Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001)

Hamzah , Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Sinar Grafika:Jakarta,2010)

Kelsen, Hans, Dasar-Dasar Hukum Normatif, (Jakarta:Nusamedia, 2008)

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (PT Citra Aditya Bakti: Bandung,2011)

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: BP Universitas Diponegoro, 1995)

Nawawi,  Barda Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan (Semarang: Penerbit Pustaka Magister, 2010)

Rahardjo , Satjipto, Sosiologi Hukum (Yogyakarta : Genta Publishing,2010)

Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum Progresif (Jakarta:Kompas,2010)

Utrecht. Hukum Pidana I, (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1994)

Widjaja , Gunawan, Seri Hukum Bisnis : Altenatif Penyelesaian Sengketa,(PT Raja Grafindo Persada:Jakarta,2002)

Yusuf, Anas, Implementasi Restorative Justice Dalam Penegakan Hukum oleh Polri, (Jakarta:Universitas Trisakti, 2016),

Jurnal

Arpin, Haritsa, Penyelesaian Tindak Pidana Melalui Mediasi Penal Oleh Masyarakat Desa Di Kabupaten Gorontalo, Jurnal Jurisprudentie Volume 5 Nomor 2 Desember 2018

Beja Suryo Hadi Purnomo, “Kedudukan Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Volume 4, Number 2, Desember 2018

July Esther , Bintang ME Naibaho , Bintang Christine, “Mediasi Penal Dalam Penanganan Pelaku Tindak Pidana Sebagai Upaya Meminimalisir Kelebihan Hunian Di Lembaga Pemasyarakatan”, Jurnal Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas HKBP Nommensen Volume 01 Nomor 01 Juli 2020

Kamaruddin, “Mediasi Dalam Pandangan Hukum Progresif Suatu Alternatif Penyelesaian Konflik Keluarga”, Jurnal Al-‘Ad Vol. 11 No. 2, Juli 2018

Marilang, Menimbang Paradigma Keadilan Hukum Progresif Considering The Progressive Legal Justice Paradigm , Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 2, Juni 2017

Mukhidin, “Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat”, Jurnal Pembaharuan Hukum Volume I No. 3 September – Desember 2014

Priyo Santoso, Diskresi Kepolisian Melalui Mediasi Penal (Studi Kasus di Polsek Galur, Kulonprogo), Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan Vol. 1 No. 2, September 2020

Puji ,Kuat Prayitno, Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 September 2012  .

Raharjo , Agus, Mediasi sebagai basis dalam penyelesaian perkara pidana, Jurnal Mimbar Hukum Volume 20 nomor 1 februari 2008

Reyner, Dian Adriawan Daeng Tawang, “Alternatif Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”, Jurnal Hukum Adigama Vol 1, No 2 (2018)

Rudini Hasyim Rado, Barda Nawawi Arief, Eko Soponyono, “Kebijakan Mediasi Penal Terhadap Penyelesaian Konflik Sara Di Kepulauan Kei Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, Jurnal Law Reform  Volume 12, Nomor 2, Tahun 2016

Sudaryono, M. Iksan, dan Kuswardani, Model Penyelesaian Secara Alternatif Dalam Peradilan Pidana (Studi Khusus Terhadap Model Penyelesaian Perkara Pidana Oleh Lembaga Kepolisian) ,  Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 13, No. 1, Februari 2012

Victorio H. Situmorang, Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Bagian Dari Penegakan Hukum (Correctional Institution as Part of Law Enforcement), (jurnal Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM R.I Volume 13, Nomor 1, Maret 2019)

 

Dokumen Pemerintah

Naskah Akademik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham,  Pengkajian Hukum tentang Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang dilakukan oleh anak-anak , 2013

Thesis

I  Made  Agus  Mahendra  Iswara,    Mediasi  Penal  Penerapan  Nilai-Nilai Restoratif Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013

Artikel Online

ASH, “Mediasi Perkara Pidana Anak”, Begini Filosofinya, 12 Februari 2016, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bd60dd5c226/mediasi-perkara-pidana-anak–begini-filosofinya/ diakses pada 28 April 2020

Audrey Santoso, “27 Napi Berulah Lagi Setelah Dibebaskan, Kabareskrim: Sanksi Lebih Berat”, edisi 21 April  2020, https://news.detik.com/berita/d-4984907/27-napi-berulah-lagi-setelah-dibebaskan-kabareskrim-sanksi-lebih-berat/2 diakses pada 28 April 2020

Direktori Putusan Mahkamah Agung diakses melalui https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/index/kategori/pidana-umum- pada 12 Mei 2021

Institute for Criminal Justice Reform, ICJR Ingatkan Kembali Urgensi Pembahasan RKUHP, RKUHAP dan Revisi UU Narkotika, 28 November 2019, “https://icjr.or.id/icjr-ingatkan-kembali-urgensi-pembahasan-rkuhp-rkuhap-dan-revisi-uu-narkotika/ “diakses pada 29 April 2020

Tempo, Kronologi Penyerangan Warga Syiah di Sampang, 27 Agustus 2012 , https://nasional.tempo.co/read/425697/kronologi-penyerangan-warga-syiah-di-sampang/full&view=ok, diakses pada 28 April 2020

Tempo, Setara: “Kasus Penistaan Agama Cocok Diselesaikan Tanpa Pengadilan”, 12 Mei 2017  https://nasional.tempo.co/read/874526/setara-kasus-penistaan-agama-cocok-diselesaikan-tanpa-pengadilan/full&view=ok diakses pada 28 April 2020

Tri Harnowo, “Eksistensi Mediasi Penal dalam Penyelesaian Pelanggaran Pidana Kekayaan Intelektual”, 3 Agustus 2018  https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b63f97258b43/eksistensi-mediasi-penal-dalam-penyelesaian-pelanggaran-pidana-kekayaan-intelektual-oleh–tri-harnowo/ diakses pada 28 April 2020

 

 

 

You Might Also Like

Polemik Penerapan Hukuman Mati dan Hak Untuk Hidup

Mendesak Pembatalan Megaproyek Ibu Kota Negara

UU TPKS: Terobosan Pemberantasan Kekerasan Seksual di Indonesia

Kriminalisasi Pencemaran Nama Baik Atas Pernyataan di Media Sosial

Wacana Presiden 3 Periode dan Mangkraknya Pembangunan

TAGGED: Hukum Acara Pidana, Hukum Pidana
eadiwaluyo September 12, 2021
Share this Article
Facebook TwitterEmail Print
What do you think?
Love0
Happy0
Surprise0
Sad0
Embarrass0
Previous Article Diskriminasi HAM di Papua Hingga Saat Ini
Next Article Kewenangan DPD Pada Mekanisme Checks and Balances: Optimalkah?
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk untuk berkomentar.

Our Social Media

Facebook Like
Twitter Follow
Instagram Follow
Youtube Subscribe

Latest News

Dilema Presidential Treshold: Dihapus atau Dikurangi?
Spotlights
Polemik Penerapan Hukuman Mati dan Hak Untuk Hidup
Spotlights
Konvensi Jenewa sebagai Sumber Hukum Humaniter Internasional
Insights
Negara dalam Hukum Internasional
Insights
Mengenal Leges Duodecim Tabularum: Hukum Tertulis Pertama Romawi Karena Konflik Antarkelas
Insights
Mendesak Pembatalan Megaproyek Ibu Kota Negara
Current Issues
Kerangka Kerja Regulasi Penanganan Limbah Medis COVID-19
Spotlights
Tantangan Pengelolaan Limbah Medis COVID-19
Spotlights
UU TPKS: Terobosan Pemberantasan Kekerasan Seksual di Indonesia
Current Issues
Ancaman Perlindungan Hak-hak Buruh dalam UU Cipta Kerja
Spotlights
Kriminalisasi Pencemaran Nama Baik Atas Pernyataan di Media Sosial
Spotlights
Tradisi Pamer Tersangka Melalui Konferensi Pers di Indonesia
Spotlights
Pelanggaran HAM Berat di Papua dan Respon di PBB
Spotlights
10 Program Studi Hukum Terbaik di Asia Tenggara, UNAIR Terbaik di Indonesia
Fun Facts
Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden: Perspektif Demokrasi dan Konstitusionalisme
Spotlights

Baca artikel lainnya

Spotlights

Polemik Penerapan Hukuman Mati dan Hak Untuk Hidup

6 hari ago
Current Issues

Mendesak Pembatalan Megaproyek Ibu Kota Negara

2 minggu ago
Current Issues

UU TPKS: Terobosan Pemberantasan Kekerasan Seksual di Indonesia

3 minggu ago
Spotlights

Kriminalisasi Pencemaran Nama Baik Atas Pernyataan di Media Sosial

3 minggu ago
Follow US

© Kawan Hukum Indonesia 2019-2022. All Rights Reserved.

Join Us!

Subscribe to our newsletter and never miss our latest news, podcasts etc..

[mc4wp_form]
Zero spam, Unsubscribe at any time.

Removed from reading list

Undo
Welcome Back!

Masuk ke akun anda

Register Lost your password?