Papua Barat bergabung dengan Indonesia sudah bisa di hitung selama kurang lebih 50 tahun silam setelah lama berada di bawah kekuasaan Belanda. Bergabungnya Papua ke Indonesia bermula dari ditandatangani nya New York Agreement pada tanggal 15 Agustus 1962 yang berisikan penyerahan Papua pada PBB paling lambat tanggal 1 Oktober 1962. Pada Desember 1962 dilaksanakan penentuan suara rakyat (Pepera) yang hasilnya dari 800 ribu penduduk Papua hanya 1.025 orang yang terlibat musyawarah dan selanjutnya Papua menjadi bagian dari Indonesia.
Hasil dari Pepera ini yang kemudian pada tanggal 16 Agustus 1969 diajukan Presiden Soeharto kepada DPR sebagai RUU pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan pada tanggal 10 September disahlan UU no 12 tahun 1969. Ketidakpuasan orang asli Papua terhadap Pepera 1969 inilah yang dijadikan kampanye oleh aktivis Organisasi Papua Merdeka untuk merdeka dari Indonesia, selain kampanye pelanggaran Ham dan isu ketidakadilan dan ketidaksejahteraan orang asli Papua.
[rml_read_more]
Tujuan awal Soekarno menyatukan papua dengan Indonesia adalah untuk memerdekakan manusia Papua agar mereka menjadi tuan tanah di tanah mereka sendiri, akan tetapi pembicaraan mengenai Papua pasti tidak jauh dari kekerasan, ketelanjangan, kemiskinan dan ketertingaalan. Integrasi yang di bagun 50 tahun silam tidak lain dan tidak bukan hanya sekedar integrasi Sumber Daya Alam-nya saja, sedangkan manusianya diabaikan, merana di atas kelimpahan tanahnya sendiri.
Meskipun kebijakan otonom khusus telah diberikan terhadap rakyat Papua, namun tragedi demi tragedi memertegas penderitaan yang dihadapi rakyat Papua. Karena hal hal inilah sampai sekarang Papua masih berusaha melepaskan diri dari Indonesia, penyebabnya tidak terlepas dari sejarah masa lalu yang meliputi nasionalisme yang berbeda, kekerasan yang berakibat pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap bangsa Papua serta ketimpangan sosial pasca integrasi dengan Indonesia.
Papua mengalami berbagai diskriminasi sosial dan juga pelanggaran HAM yang sudah bisa di bilang banyak kasusnya di Indonesia, hal tersebut menjadi salah satu alasan Papua ingin melepaskan diri dari Indonesia. Lembaga Ilmu Pengertahuan Indonesia, atau LIPI merumuskan akar persoalan dari kringinan melepaskan diri Papua dari Indonesia adalah trauma sjarah dan tragedy kemanusiaan yang menjadi memori buruk bagi orang Papua, bisa kita lihat bahwa masyarakat Papua memiliki trauma terhadap kejahatan kemanusiaan, dari hal ini seharusnya Indonesia lebih menjamin Hak Asasi Manusia yang dimiliki masyarakat Papua dan meminimalisir deskriinasi yang dialami oleh orang orang Papua.
Akan tetapi, bisa kita lihat sampai sekarang masyarakat papua masih mengalami deskriminasi dan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM ini justru didapatkan dari apparat kemanan yang memunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan operasi keamanan dalam rangka mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia, akan tetapi dari hal ini justru menibmulkan penyimpangan-penyimpangan yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia. Menurut catatan KontraS terdapat sejumlah kasus kekerasan di Papua yang tidak jelas penyelesaian nya, antara lain Kasus Teminabuan (1966-1967). Peristiwa Kebar 26 Juli 19565, Peristiwa Manokwari 28 Juli 1965 dan masih banyak lagi. Pada tahun 2010 juga terjadi pembunuhan Pendeta Kinderman Gire di Puncak Jaya pada tahun 2010.
Pelanggraan pelangaran HAM ini tidak hanya terjadi di Papua, tapi juga terjadi pada warga papua yang berada di pulau Jawa. Pada tanggal 19 Agustus 2019 telah terjadi persitiwa rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, semuanya bermula dari dugaan pematahan Bendera Indonesia yang menyebabkan jatuh ke saluran air depan Asrama Papua. Hal ini ditaggapi oleh bebrapa ormas di Surabaya, sehingga pada tanggal 16 Agustus 2019, 6 orang saksi dari ormas tersebut melapor ke polisi. Dari laporan tersebut mengatakan bahwa ada 2 orang warga Papua yang mematahakan bendera.
Hal tersebebut ditampik oleh Aliansi Mahasiswa Papua yang mengatakan bahwa bendera tersebut bahwakan sudah dipasang sejak tanggal 15 Agustus dan mereka tidak tahu menahu tentang pematahan bendera tersebut. Mereka juga mengatakan bahwa rekaman cctv menunjukkan yang melakukan pematahan bukan orang Papua, berdasarkan rekaman tersebut pelaku pematahan bukan merupakan orang dari asrama Papua.