Apabila kita berbicara tentang demokrasi, rasanya telinga ini sudah tidak asing lagi. Sangat menarik untuk dibahas, apalagi melihat kenyataan bahwa negara Indonesia yang masih menjadikan proses demokratisasi sebagai tumpuannya. Bahkan sekarang, negara-negara di dunia sangat mengagungkan konsep demokrasi. Merasa telah menerapkan demokrasi dengan benar, namun tak tahu esensi utama dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos yang berarti rakyat dan Kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga, dapat kita rangkum bahwasanya demokrasi sendiri berarti pemerintahan rakyat, dimana kekuasaan tertinggi pemerintahan suatu negara ada di tangan rakyat, dan wakil-wakil dalam pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Terlepas dari pengertian di atas, juga banyak ditemui pandangan-pandangan tentang demokrasi yang bermunculan dari para ahli dan sarjana. Salah satunya adalah Teori Demokrasi menurut Hans Kelsen. Awalnya konsep demokrasi menurut Hans Kelsen ini dilatarbelakangi adanya ide kebebasan dalam benak manusia. Namun frasa “kebebasan” sering kali memiliki konotasi negatif karena dianggap bebas dari ikatan-ikatan dan segala kewajiban. Akan tetapi, Hans Kelsen menolak pandangan tersebut, beliau berpendapat bahwa arti dari kebebasan tidaklah sesederhana itu, namun “kebebasan” dianalogikan menjadi prinsip penentuan kehendak sendiri. Hal inilah yang selanjutnya melatarbelakangi perkembangan demokrasi di dunia.
Perjalanan Panjang Demokrasi di Indonesia
Sejarah membuktikan, untuk mencapai demokrasi seperti yang kita inginkan sekarang, dimana kebebasan berpendapat sangat dijunjung tinggi, tidaklah mudah. Jalan panjang dilalui bangsa Indonesia guna menyempurnakan sistem demokrasi yang ada. Menilik ke belakang, di era pemerintahan Soekarno maupun Soeharto, kebebasan berpendapat sangatlah dibatasi. Koran pun yang menjadi saran untuk mengungkapkan pendapat haruslah memuat berita yang tidak bertentangan dengan pemerintah saat itu.
Salah ucap bisa bisa nyawa melayang. Hingga akhirnya, pada tahun 1999 lahirlah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya undang-undang ini bisa dibilang masyrakat dapat secara bebas menyampaikan dan mengekspresikan pendapatnya. Namun, apabila diperhatikan koran yang seyogyanya menjadi wadah masyarakat untuk bebas berpendapat, justru masih didekengi oleh pemerintahan pada masa itu. Tetap berlaku bahwasanya tidak boleh ada pendapat yang keluar yang bertentangan dengan pemerintahan. Banyak kasus terjadi, mulai dari dijauhi orang sekitarnya, diisolasi, diasingkan, atau bahkan sampai mengalami kematian.
Baru akhirnya, pada zaman pemerintahan BJ. Habibie diberi ruang seluas-luasnya bagi HAM dan Demokrasi di Indonesia. Untuk Hak Asasi Manusia, ada 3 kebijakan yang diusung, yakni kebebasan pers, kebebasan berpendapat dimuka umum, dan membebaskan tahanan publik. Kebebasan pers yang diterapkan oleh Habibie membawa angin segar bagi perkembangan jumlah penerbitan di Indonesia pada era reformasi, dimana pada masa Orde Baru jumlah media cetak sebanyak 289 dan 996 radio swasta, setelah reformasi menjadi 1.398 media cetak dan 74 radio swasta.
Habibie juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 yang mengatur dan menjamin kebebasan berpendapat dan mendorong lahirnya kekuatan sosial politik di masyarakat dan pendirian berbagai asosiasi profesi. Sementara, untuk penyelesaian berbagai masalah HAM di Indonesia, Habibie membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan.
Sejalan dengan Habibie, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang saat itu menjadi Presiden RI keempat menunjukkan sikapnya untuk mewujudkan negara yang demokratis. Gus Dur membuka ruang bagi pers untuk berekspresi dengan membubarkan Departemen Penerangan (Deppen) yang saat itu menjadi momok menakutkan bagi pers sebab Deppen mempunyai kuasa mencabut izin penerbitan atau membungkam media.
Kodisi yang baik yang dibangun oleh Gus Dur, justru seakan mengalami mati suri saat Megawati memimpin.
Rezim Megawati, bukan hanya menggunakan pasal-pasal dalam UU Unjuk Rasa secara efektif untuk melakukan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi, namun juga mempertebal pasung kebebasan. Pasung kebebasan dikukuhkan dengan memberlakukan Undang-Undang Keadaan Bahaya di Aceh. Bahkan, hingga akhir masa kepemimpinan Megawati ditandai dengan pemasungan kebebasan melalui institusi peradilan, dengan mengkriminalisasikan kebebasan pers.
Pada masa 10 tahun Indonesia di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dmeokrasi di Indonesia berjalan di jalan yang tepat. Banyak negara di dunia yang menyorot demokrasi Indonesia yang sudah begitu baik. Yang dilakukan SBY dalam menegakkan demokrasi dapat dilihat dari suksesnya pemerintah saat itu merangkul Aceh yang bersitegang dengan pemerintah RI jauh sebelumnya. SBY yang merupakan seorang militer, tidak menjadikan militer sebagai alat untuk kembali merangkul Aceh kembali ke Indonesia, akan tetapi melalui kesabaran diplomasi dan kata sepakat yang akhirnya membuahkan hasil kembalinya Aceh ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Kebebasan Berpendapat di Era Teknologi Digital
Masuk ke era pemerintahan Presiden Jokowi, dimana perkembangan teknologi sudah sangat pesat. Orang-orang untuk memperoleh informasi tidak harus menunggu terbitnya koran, menonton berita di televisi, ataupun mendengarkan radio. Sekarang, dalam waktu instan kita bisa memperoleh informasi yang kita butuhkan melalui smartphone yang kita miliki. Tidak hanya itu, untuk berpendapat atau mengkritik pemerintahan yang ada juga sangat bebas dilakukan, banyak sarana yang dapat dimanfaatkan.
Melalui media sosial contohnya. Berani berbicara dan berpendapat justru sangat di elok-elokan di era sekarang. Media sosial yang dalam hal ini dapat dimanfaatkan sebagai alat kritik bagi masyarakat merupakan salah satu penopang kebebasan berpendapat di Indonesia dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28E Ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Dengan hadirnya internet, mereka dapat menyuarakan hak-hak mereka yang sebelumnya mendapat tekanan. Akan tetapi yang perlu dicermati disini dan yang menjadi persoalan adalah kebebasan yang disalahgunakan, dimana kebebasan sudah diberikan akan tetapi pengaplikasiannya yang salah. Masyarakat merasa bahwa kebebasan yang diberikan oleh pemerintah adalah bebas tanpa adanya aturan yang mengekang.
Sering kali ditemui ujaran kebencian yang dilontarkan kepada pemerintahan yang ada, permasalahan yang timbul justru karena terlalu bebas berpendapat. Tidak hanya kita kenal istilah ‘mulutmu harimaumu’, tapi dewasa ini juga muncul istilah ‘jarimu harimaumu’. Fenomena hate speech (ujaran kebencian) dan penyebaran hoax (berita bohong) juga semakin banyak bermunculan. Ada juga fenomena buzzer, yang perannya menggiring opini publik untuk tidak mengkritisi kebijakan pemerintah.
Kenyatannya, melalui keaktifan masyarakat di media sosial, telah membawa dampak besar bagi penggiringan opini publik, bahkan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan politik dalam masyarakat. Sehingga, apabila kita perhatikan banyak permasalahan yang timbul dari adanya e-demokrasi ini, salah satu yang dapat kita rasakan adalah dengan adanya e-demokrasi melahirkan pembungkaman terhadap masyarakat dalam melaksanakan hak demokrasinya. Suara yang disampaikan akan ditimpa dengan suara yang berlawanan dan suaranya yang bertentangan kiranya dapat hilang di tengah kerumunan. Semua itu dapat dengan mudah dilakukan hanya dengan memanfaatkan teknologi yang ada.
Dalam hal ini, demokrasi yang ada haruslah dicermati secara tepat. Sebab, demokrasi yang ada sekarang tidak hanya sebatas ada pada taraf pemikiran saja, namun apa yang kita sebut dengan ‘kebebadan berpendapat’ yang menjadi basis bagi masyarakat untuk mengekspresikan pemikirannya, meskipun dalam penerapannya juga dibatasi oleh UU ITE. Sehingga dalam hal ini, diperlukan keterbukaan dan kemudahan akses informasi agar masyarakat dapat menanggapinya dengan bijak. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, juga diperlukan pengembangan pemikiran dari masyarakat itu sendiri, dimana diharapkan untuk selalu berpikir logis, objektif, dan bersama sama mewujudkan negara yang demokratis.
Baca juga:
- Sistem Proporsional Tertutup dalam Demokrasi, Idealkah?
- Peran Media dalam Mengungkap Kasus Korupsi
- Menyoal Penurunan Skor CPI Indonesia
- Kemanusiaan Itu di atas Segalanya: Dari Aksi Kamisan Hingga Tragedi Kanjuruhan
- Kenapa Kualitas Demokrasi Indonesia Setelah 2 Dekade Reformasi Cenderung Memburuk?
- Pelanggaran Kode Etik Kepolisian dalam Pengamanan Demonstrasi
- Potret Historis Demokrasi di Indonesia
- Ada Apa dengan Demokrasi, Kritik, dan UU ITE Saat Ini?
- Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden: Perspektif Demokrasi dan Konstitusionalisme
- Tidak Bebasnya Hak Kebebasan Berpendapat di Indonesia