kawanhukum.id – Gerakan #BlackLivesMatter adalah kritik terhadap diskriminasi ras di Amerika dan merambah ke belahan dunia lainnya. Bagaimana dengan diskriminasi ras di Indonesia? Apa perlu gerakan serupa?
Belakangan ini banyak sekali informasi dunia yang bertebaran melalui internet serta mendapatkan beragam respon dunia internasional. Dimulai dari mewabahnya COVID-19, krisis hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat, hingga yang terbaru ialah isu perjuangan hak hidup masyarakat kulit hitam Amerika Serikat melawan diskriminasi sistemik. Perjuangan ini terangkum dalam suatu gerakan bertajuk “Black Lives Matter”(BLM).
Sebenarnya, BLM bukan suatu hal yang baru. Menurut keterangan dalam sebuah buku berjudul “All the Woman Still White? Rethinking Race, Expanding Feminisms”, Alicia Garza yang merupakan salah satu founder gerakan ini menyatakan bahwa BLM merupakan sebuah “panggilan” dirinya bersama dua rekannya atas kasus pembunuhan Trayvon Martin (kulit hitam). Proses peradilan kasus tersebut diyakini tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga terdakwa kasus pembunuhan tersebut, yaitu George Zimmerman (kulit putih) dinyatakan bebas dari tuduhan. Putusan bebas Zimmerman tersebut terjadi pada Juli 2014.
Kronologi #BlackLivesMatter
BLM kemudian menarik perhatian ketika tagar #BlackLivesMatter trending di Twitter sekitar akhir Mei hingga awal Juni. Usut punya usut, ternyata trending tersebut bermula dari kasus terbunuhnya George Floyd, seorang warga Amerika Serikat (AS) berkulit hitam yang ditangkap polisi karena membelanjakan uang palsu senilai 20 dolar AS. Dalam penangkapan tersebut, seorang polisi kulit putih bernama Derek Chauvin menindih Floyd menggunakan lututnya hingga tewas. Video kejadian tersebut kemudian viral di dunia maya dan mendapat banyak kecaman. Hal itulah yang membuat AS sempat bergejolak. #BlackLivesMatter tidak hanya sekadar menjadi tuntutan untuk mengusut kasus Floyd melainkan dapat dikatakan hal tersebut condong mengarah pada tuntutan atas persamaan hak kulit hitam dengan warga lainnya.
Seperti COVID-19 yang dengan cepat mewabah ke seluruh dunia, gerakan BLM turut menjadi isu dunia. Dua wanita Australia ditangkap dengan alasan melakukan vandalisme terhadap patung penemu Benua Australia, James Cook, sebagai bentuk respon antirasialisme. Hal serupa namun tak sama juga terjadi di Inggris ketika Dewan Kota Poole menurunkan Patung Baden-Powell karena dikhawatirkan akan menjadi sasaran protes antirasisme.
Dampak di Indonesia
BLM kemudian turut masuk ke Indonesia. Beberapa waktu lalu ketika penulis membuka akun Instragram, terlihat tidak sedikit orang turut memposting gambar hitam dengan caption #blackouttuesaday. Aksi ini dilakukan bukan untuk melakukan protes kepada PLN atas pemadaman listrik (yang beberapa waktu lalu disebut blackout day), namun aksi ini dilakukan sebagai respon atas kejadian yang menimpa Floyd tersebut. Dapat dikatakan hal tersebut sebenarnya bagus ketika kita mendukung gerakan antirasialisme tersebut. Namun, miris pula ketika kita menyadari bahwa banyak hal-hal lain di Indonesia yang sebenarnya mengarah ke bentuk rasialisme namun dianggap biasa, bahkan tidak penting bagi Indonesia.