COGITATIONIS POENAM NEMO PATITUR
tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya
Kita berada ditengah kehidupan yang segala sesuatu membutuhkan “hukum” guna menertibkan kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain, “hukum” itu sendiri berarti “batasan” untuk setiap perilaku yang memungkinkan merugikan orang lain. Terlebih Indonesia, dimana hukum itu sendiri hidup seakan akan sebagai kebutuhan primer.
Sangat banyak produk hukum yang telah dihasilkan, berdasarkan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional terdapat 60.443 produk hukum tingkat pusat dan 190.003 tingkat daerah. Dari jumlah tersebut kita akan melihat bagaimana hukum dapat lahir dan berkembang di masyarakat dan bagaimana masyarakat itu sendiri terhadap hukum yang ada.
Kehidupan hukum di Indonesia, secara kuantitas mungkin yang dibayangkan adalah keteraturan dan kedisiplinan bermasyarakat yang baik mengingat banyaknya aturan yang mengatur. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah “baik” secara kuantitas akan searah dengan “baik” secara kualitas?
Baik, kita akan mencoba membedahnya. Kita akan menggunakan satu contoh kecil saja karena tentu saja kita tidak akan memiliki banyak waktu untuk membahas secara keseluruhan karena keterbatasan yang ada. Misalnya mengenai kebebasan berpendapat yang banyak menjadi kecaman publik sebagai sebuah isu yang sensitive bahkan tak sedikit yang dapat dipidana. Lebih spesifik lagi adalah terkait dengan pernyataan seseorang yang “dianggap” sebagai sebuah penghinaan atau pencemaran nama baik.
Seperti yang terjadi pada seorang vlogger Rius Vernandes. Ia “dianggap” telah melakukan pencemaran nama baik atas maskapai Garuda Indonesia. Ia mengkritik pelayanan yang diterimanya selama menjadi penumpang maskapai tersebut, yang kemudian diunggap di dalam channel Youtube milik pribadinya. Namun, ternyata hal itu membuatnya terjerat kasus pidana.
Dari kasus tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendapat pribadi yang objektif dapat dijerat hukum? Lalu sejauh mana kita dapat menggunakan hak kebebasan pendapat seperti yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945?
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak disebutkan batasan yang jelas yang menjadi kriteria mana batas awal bahwa suatu pendapat seseorang tersebut adalah termasuk pencemaran nama baik. Kita dapat cek disemua peraturan perundang-undangan yang ada, dari sekian ribu banyaknya regulasi tersebut tidak satupun yang menyebutkan batasan yang secara jelas bahwa suatu pendapat dapat dikategorikan dan masuk ke dalam indikator pencemaran nama baik.
Dua pertanyaan diatas mengenai kebebasan berpendapat yang dapat dijerat dan sejauh mana kita dapat menggunakannya pun hingga saat ini belum terpecahkan dan belum mampu terjawab. Sehingga ternyata, banyaknya regulasi tia jua mampu menjawab dan memberikan solusi untuk pertanyaan yang fundamental.
Tentu saja sangat subjektif ketersinggungan yang dialami oleh setiap orang, setiap orang memiliki batas ketersinggungan masing – masing yang tentunya kita tidak dapat mengkontrol itu. Bukan berarti, hak kebebasan berpendapat kita yang harus dikorbankan pula. Namun, perlu adanya kesehatan dalam berfikir bukan kesesatan untuk menempatkan keduanya.
Setiap orang harus saling menghargai. Siapapun yang menyatakan pendapatnya akan menggunakan akal sehat disamping nuraninya, dan lainnya menerima pendapat orang lain dengan akal yang sehat bukan mengedepankan perasaan semata. Dalam Bahasa gaul dikenal dengan “baper”. Dengan kemajuan teknologi yang ada, diharapkan dapat digunakan untuk menggunakan akal sehat dan mempertajamnya.
Berdasarkan kasus diatas, apa yang disampaikan oleh Vlogger tersebut adalah sebuah pendapat berdasarkan apa yang ia lihat dan alami. Penilaian tersebut sah–sah saja dimata hukum (seharusnya) dan (seharusnya) tidak perlu masuk ke dalam ranah pidana. Apa yang ia lontarkan bukanlah suatu data atau keadaan yang kemudian disampaikan secara bohong atau hoax. Namun, apa yang disampaikan adalah sesuatu yang real dan murni sebuah penilaian.
Tidak baik bagi negara terlalu banyak menanggapi perkara yang dilatarbelakangi oleh perasaan semata karena hal itu tidak sesuai dengan Indonesia yang merupakan negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945.
Terlebih semenjak Orde Baru digulingkan dan berganti ke Masa Reformasi hingga sekarang, nyatanya kebebasan berpendapat masih menjadi suatu misteri keberadaannya. Tak lain dan tak bukan munculnya Peraturan-Peraturan yang bertentangan dengan Nilai Reformasi yang sejatinya memberikan hak untuk berpendapat dan berekspresi secara langsung maupun tidak langsung tentu didukung dengan bunyi Pasal 28E Ayat 2 UUD NRI 1945.
Semangat Reformasi untuk membuka ruang demokrasi nyatanya semakin terkikis oleh gaya pengambil kebijakan yang menjadikan Hukum tidak hanya sebagai produk politik tetapi juga sebagai alat untuk menekan yang berlawanan. Tentu kemunduran yang begitu luar biasa jika hal tersebut dibudayakan di negeri ini.
Saat ini, UU ITE hadir sebagai regulasi yang mengatur kebebasan berpendapat merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam kehidupan negara yang demokratis. Namun, terdapat pasal – pasal yang dinilai sebagai pasal karet yang justru dapat membungkam dan merenggut hak kebebasan berpendapat seseorang.
Sebagai penutup, mengutip dari buku Prof. Dr. Romly Atmasasmita yang menyatakan bahwa kekurangpahaman akan makna dari suatu undang-undang baik yang tersurat maupun tersirat telah mengandung kontroversi pandangan seperti merebutkan pesan kosong dan menjadi kurang bermakna bagi hukum dan politik bangsa ini.
Dengan demikian, sudah semestinya perlu regulasi yang secara jelas dan pasti terkait dengan kebebasan berpendapat agar ketika seseorang menyatakan pendapat tidak terbayang-bayang oleh kemungkinan terjeratnya hukum. Agar orang awam yang (istilahnya) buta tuli terhadap hukum mendapatkan kepastian hukum atas apa yang menjadi pendapat tanpa maksud untuk melakukan pencemaran nama baik.