Tidak beda jauh, di negara kita sendiri, Indonesia, perilaku diskriminatif dan intoleransi bukan hal baru dan tidak pernah usai. Isu Pribumi dan Non-Pribumi masih kerap terdengar. Puncaknya, peristiwa Mei 1998 ketika demonstran menuntut untuk menjatuhkan pemerintahan Orde Baru yang koruptif untuk menegakkan Indonesia yang lebih demokratis. Sayangnya, niat dan harapan baik tersebut ternodai dengan pengerahan massa secara aneh dan sistematis. Demonstrasi yang awalnya bertujuan kepada pemerintah, tiba-tiba menyerang berbagai sektor kehidupan masyarakat etnis Tionghoa. Toko-toko dijarah, rumah ibadah dibakar, hingga perempuan Tionghoa diperkosa secara sadis. Padahal, etnis Tionghoa telah beratus-ratus tahun hidup dan tinggal turun temurun di Nusantara. Bahkan, telah menjadi Warga Negara Indonesia pun masih dicap sebagai Asing.
Apa yang harus kita lakukan?
Stereotipe dan prasangka sepertinya menjadi alasan kuat perilaku diskriminatif mayoritas kepada minoritas. Mayoritas yang posisinya dominan pun ingin agar posisinya tidak terancam. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, bahwa perbedaan belum dapat kita terima dengan lapang dada. Sudah seharusnya lah kita saling bertoleransi, bersikap adil dan tidak diskriminatif.
Konflik mayoritas vs minoritas bukan menjadi kesalahan salah satu pihak agama atau etnis bahkan negara. Kesalahan itu terdapat dari sikap tidak bisa menerima perbedaan yang kerap kali menghantui diri kita. Ada kalanya posisi suatu kelompok menjadi mayoritas, bisa pula menjadi minoritas di tempat lain. Tidak ada yang menginginkan posisi kita terancam. Dengan demikian, mari kita wawas diri dan bijak-bijaklah bersikap.
Racism is man’s gravest threat to man. The maximum of hatred for a minimum of reason.