Ketiga, UU ini menghapuskan Pasal 57 UU No. 13 Tahun 2003, sehingga peluang bagi perusahaan untuk membuat karyawan dengan perjanjian tidak tertulis untuk menjadi PKWT tidak ada. Hal tersebut melanggar hak pekerja untuk dapat menjadi karyawan tetap disuatu perusahaan menjadi hilang.
Keempat, UU ini menghapuskan Pasal 64 dan 65 UU No. 13 Tahun 2003 sehingga banyak masyarakat kecil yang terancam kehilangan pekerjaannya sebagai tenaga borongan suatu perusahaan.
Kelima, Pasal 79 ayat (2) huruf d UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa bagi para buruh/pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut berhak mendapatkan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan perusahaan mempunyai kewajiban untuk memberikan hak istirahat panjang tersebut kepada karyawannya. Namun, UU Cipta Kerja menentukan perusahaan tidak lagi memiliki kewajiban untuk memberikan istirahat panjang kepada karyawannya. UU Cipta Kerja hanya menyebutkan perusahaan dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama.
Frasa “dapat” mempunyai arti opsional yang menjadikan multitafsir sehingga perusahaan bisa memberi atau tidak istirahat panjang kepada karyawannya. Hal tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi karyawan.
Keenam, Pasal 95 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa apabila perusahaan melakukan kelalaian atau kesengajaan yang mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, perusahaan wajib dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Namun, UU Cipta Kerja menghapusnya sehingga perusahaan bisa sewenang-wenang dalam melakukan pembayaran upah karena tidak ada sanksi yang mengatur hal tersebut.
Ketujuh, alasan PHK dalam UU No. 13 Tahun 2003 adalah karena ditahan pihak berwajib yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah sehingga dianulir dalam putusan MK No. 012/PUU-I/2003. Namun, UU Cipta Kerja memberlakukan ketentuan ini kembali. Pasal 164 UU No. 13 Tahun 2003 juga menyebutkan PHK karena alasan efisiensi.
Ketentuan tersebut juga dianulir karena dapat dijadikan alasan perusahaan untuk melakukan PHK karyawan secara sepihak dengan alasan efisiensi. Hal tersebut tertuang dalam Putusan MK No. 19/PUU-1X/2011. Namun, ketentuan tersebut kembali diberlakukan dalam UU Cipta Kerja.bPemberlakuan kembali ketentuan yang sudah dianulir oleh MK menjadikan UU Cipta Kerja ini tidak memperhatikan asas kecermatan dan ketelitian dalam pembuatan undang-undang.
Terakhir, Pasal 46 UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan tertentu, sedangkan dalam UU Cipta Kerja tenaga kerja asing hanya dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia. Hal tersebut dapat menyebabkan tenaga asing dapat mengisi jabatan strategis lain di perusahaan selain personalia dan menguasai perusahaan (FK2H, 2020).
Kesimpulan