Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang menjadi babak baru untuk mengakhiri pro dan kontranya. UU TPKS membawa perubahan dalam pelindungan korban kekerasan seksual dan tatanan penegakan hukum pidana, khususnya berkaitan dengan kekerasan seksual.
Tindak pidana kekerasan seksual sebelumnya telah diatur secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun secara khusus dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak dan lainnya.
Menurut laporan tahunan Mahkamah Agung 2021, data penanganan perkara dengan klasifikasi kejahatan terhadap kesusilaan sebanyak 823 perkara, klasifikasi kekerasan dalam rumah tangga yang sebagiannya berkaitan dengan kekerasan seksual sebanyak 1.246 perkara dan klasifikasi perlindungan anak yang sebagiannya berkaitan dengan kekerasan seksual sebanyak 6.523 perkara.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS diatur bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik.
Pelecehan seksual nonfisik merupakan istilah baru yang dimunculkan dalam UU TPKS. Sedangkan dalam UU PKDRT digunakan istilah kekerasan psikis, yang secara prinsip lebih berat beban pembuktiannya karena harus membuktikan akibat dari kekerasan psikis, misalnya menimbulkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.