Media informasi berperan penting untuk membangun kepercayaan publik melalui narasi yang dihadirkan. Narasi tersebut dapat membuat masyarakat menaruh kepercayaan pada media informasi sebagai sumber pengetahuan yang memiliki manfaat antara lain wadah untuk mengekspresikan diri, interaksi sosial, meningkatkan kesadaran masyarakat dan partisipasi dalam demokrasi. Sayangnya, sebagian masyarakat lebih percaya suatu media atas dasar latar belakang atau simpatisan golongan tertentu sehingga mereka tidak dapat bersikap netral.
Tak jarang masyarakat memiliki kemampuan atau pengetahuan yang tidak memadai untuk mengolah informasi. Mereka akan terjebak dalam hoaks atau konstruksi sosial belaka. Oleh karenanya, masyarakat sebagai produsen sekaligus konsumen pemaknaan suatu masalah harus bisa melihat dari berbagai sudut pandang sehingga pemaknaan informasi tidak dibatasi oleh justifikasi untuk kepentingan golongan tertentu.
Seperti masyarakat lain, mayarakat Indonesia juga ingin memiliki kehidupan yang ideal dalam segi hukum. Namun polemik kepercayaan publik terus bergejolak karena keadilan belum hadir sepenuhnya dalam realitas. Jika kekuasaan kehakiman menilai bahwa kinerjanya sudah mencapai keadilan, tetapi masyarakat menduga sebaliknya. Ketidakpercayaan masyarakat semakin menjauhkan konsep keadilan yang egaliter. Mereka berasumsi bahwa kekuasaan kehakiman selalu dipenuhi oleh berbagai kepentingan sehingga antara penegak hukum dan masyarakat saling tidak percaya.
Salah satu ketidakpercayaan masyarakat hadir dari mereka yang pernah berperkara. Mereka sudah terlanjur kecewa terhadap rekam jejak peradilan di Indonesia. Masyarakat jenuh dengan putusan akhir hakim yang dirasa diskriminatif sehingga slogan runcing kebawah, tumpul keatas terkesan membekas di masyarakat.
Kepercayaan publik terhadap hakim semakin hari kian berkurang karena sebagian besar masyarakat merasa tidak lega terhadap keputusan atau vonis suatu kasus yang dijatuhkan dari para hakim. Masyarakat menilai putusan hakim tidak setara dengan perkara yang diperbuat para pelaku kejahatan seperti halnya koruptor yang sering mendapatkan pidana ringan. Tentunya, hal tersebut memiliki keterkaitan dengan integritas dari seorang hakim.
Sampai saat ini kepercayaan masyarakat terhadap hakim masih rendah. Integritas hakim seringkali dikaitkan dengan masih adanya praktik gratifikasi atau korupsi putusan. Sebagian besar hakim-hakim di Indonesia yang bekerja di pengadilan menerima barang dari pihak yang bersangkutan (berperkara) dalam beragam bentuk. Konsep barang ini yang harus dipertanyakan ulang para hakim.
Peran hakim dalam peradilan negeri ini adalah cerminan nyata konsep banalitas kejahatan dan kedustaan politik sebagaimana yang ditawarkan Hannah Arendt. Konsep yang menekankan bahwa dusta adalah cara yang diizinkan dalam politik dan hilangnya kemampuan berpikir dalam membedakan benar dan salah secara moral. Kejujuran tidak pernah ada. Konsep tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kasus korupsi beberapa hakim di Indonesia.
Harapan masyarakat agar keadilan dapat terwujud salah satunya adalah melalui pengelompokan peran hakim yaitu hakim karir dan hakim non-karir. Klasifikasi peranan hakim tersebut merupakan refleksi dari pesan reformasi untuk meningkatkan kepercayaan publik. Karenanya dalam menanggapi integritas para hakim, sebagian besar masyarakat Indonesia lebih percaya kepada hakim non-karir. Hal itu disebabkan oleh adanya kecenderungan hakim karir untuk melakukan praktik korupsi dan pungutan liar.
Menanggapi krisis kepercayaan publik, kehadiran sistem Judicial Education (JE) sangat dibutuhkan masyarakat karena dibenarkan bahwa negara ini sedang darurat integritas hakim. Sistem tersebut tidak hanya fokus pada kendali dan pengawasan sikap para hakim tetapi juga melalui pembinaan dan peningkatan kapasitas individu yang berkelanjutan agar membentuk karakter dan jati diri hakim dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat seperti akademisi, pencari keadilan, aparatur penegak hukum, lembaga pemerintah dan non-pemerintah serta masyarakat biasa. Dengan demikian, kepercayaan publik dipastikan meningkat karena adanya reformasi menegakkan keadilan untuk seluruh masyarakat di negeri ini..
Lalu, bagaimana masyarakat dapat menaruh kepercayaan pada kinerja para hakim?
Kepercayaan publik harus dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan integritas, kredibilitas, dan profesionalisme lembaga hukum. Berbicara tentang integritas tidak bisa dilepaskan dari legitimasi benar dan salah karena konsep integritas adalah bagian dari sikap politik individu yang naluriah dalam setiap diri manusia. Oleh karenanya, masyarakat tidak perlu menyibukkan diri dengan pertanyaan valid atau tidaknya integritas pada para hakim jika institusi yang menaunginya memiliki akuntabilitas dan rekam jejak yang paripurna.
Konsep berpikir masyarakat untuk membangun kepercayaan pada hukum di Indonesia sangat erat kaitannya dengan integritas lembaga kekuasaan kehakiman. Salah satunya, kehadiran lembaga Komisi Yudisial (KY) yang dinilai mampu untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga kekuasaan kehakiman sebagai penegak keadilan.
Hal tersebut diawali dengan tugas KY dalam menyeleksi calon hakim sehingga KY harus dapat melihat moral politik individu secara objektif. Jika KY dapat melaksanakan mekanisme seleksi hakim secara faktual, masyarakat tidak akan mencurigai putusan hakim. Justru mereka dapat mendukung proses peradilan yang inklusif.
Kehadiran KY penting dalam meningkatkan moral, profesionalitas, dan integritas para hakim untuk mewujudkan keadilan. Cara yang diberikan oleh KY dalam upaya mendukung penegakkan keadilan berupa memberi pelatihan hakim, peningkatkan kesejahteraan hakim, dan pencegahan terhadap pencemaran nama baik hakim.
Selain itu, KY adalah lembaga yang dapat menyeimbangkan kekuasaan kehakiman melalui pengawasan. KY dinilai aktif berperan optimal dan efektif dalam mengawasi hakim dan memilih calon hakim. Hakim tidak sebatas menciptakan keadilan namun juga dituntut masyarakat untuk memprioritaskan kejujuran sebagai hasrat mengubah keadaan. Sudah seharusnya KY aktif dalam mendorong integritas hakim. Dengan demikian, proses seleksi hakim menjadi gerbang keadilan yang harus memiliki kejelasan tolak ukur untuk menentukan eligibilitas dari hakim yang akan menduduki meja hijau.