Dewasa ini perkembangan teknologi, khususnya internet memacu perubahan dalam setiap lini kehidupan manusia. Terlebih semenjak COVID-19 menjadi pandemi global, semuanya dipaksa untuk beradaptasi menggunakan teknologi baru berbasis data yang didorong oleh otomatisasi. Perubahan tersebut mencakup sektor hukum di dunia dalam menghadapi tekanan untuk mengharuskan berinovasi dan berubah dari berbagai kuartal. Seiring dengan upaya pemerintah yang tengah mengembangkan sistem e-government dalam rangka peningkatan layanan publik khususnya dalam bidang yudikatif. Mahkamah Agung berinisiatif untuk mengembangkan proses peradilan secara elektronik (e-court).
Dengan pemberlakuan e-court, diharapkan terdapat solusi atas permasalahan pada praktik konvensional yang telah berlangsung lama. Sejauh ini, dalam praktiknya, dilakukan integrasi acara di pengadilan yang bersifat parsial serta perubahan system administrasi yang menjadi otomatis. Penerapan e-court menjadi bukti konsistensi MA untuk memajukan dan memperbaiki pelayanan publik di pengadilan.
Pada dasarnya, sistem ini tidak menghilangkan seluruh proses tahapan persidangan. Tetapi, hanya memangkas beberapa proses untuk mengurangi kontak fisik di persidangan yang sebelumnya dilakukan dalam waktu yang lama, yaitu pada agenda sidang pertama; sidang kedua; verifikasi bukti surat dan pemeriksaan saksi atau ahli. Keefektifan sistem ini terlihat pada tidak dilakukannya lagi penyerahan berkas ke pengadilan dan digantikan melalui pengiriman daring.
Program ini tentunya akan berjalan baik apabila didukung oleh persiapan matang. Tetapi, ternyata dalam pelaksanaannya sistem e-court masih mengandung kecacatan. Sistem e-court yang sekiranya menjadi harapan untuk memperkuat daya saing dan produktivitas litigasi berubah menjadi suatu celaka bagi para pihak berkepentingan didalamnya.
Di antaranya adalah alat bukti yang senyatanya harus dihadrikan secara fisik, tetapi tidak dapat dilakukan, karena ketetapan prosedur yang mengijinkan hanya secara virtual. Akibatnya tidak ada kepastian akan keaslian dan keabsahan dari alat bukti itu sendiri. Kemudian, dalam tahapan persidangan seperti eksepsi; replik; duplik, yang sebelumnya hanya perlu datang dengan membawa berkas, tetapi melalui e-court keadaannya malah menyulitkan para pihak karena birokrasinya yang berbelit dan proses memasukkan dokumen yang membutuhkan waktu yang lama.
E-court merupakan program canangan yang telah berlangsung lama, namun hingga saat ini Mahkamah Agung belum mengeluarkan petunjuk teknis pelaksanaan pemeriksaan daring, sehingga yang terjadi seperti interview calon pekerja melalui video-conference. Hal ini nantinya berdampak pada apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam mengeluarkan putusan.
Alih-alih mempertanyakan soal meyakinkan atau tidaknya argumentasi hakim, banyak yang mempersoalkan argumentasi hakim yang justru membawa hal yang tidak substantif dan penggunaan bukti seadanya karena ketidakpastian akan keaslian dan keabsahan dari alat bukti tersebut. Terlebih, dalam praktik konvensional, hakim dapat menjadikan bahasa tubuh dan redaksional dari para pihak sebagai bahan pertimbangan. Sehingga, menjadi malapetaka ketika hakim hanya menjadikan jawaban dari terdakwa sebagai pertimbangan putusannya.
Terlihat di sini cara hakim seakan-akan menggunakan diksi “naluri” dalam keyakinannya membuat penjelasan sesungguhnya menjadi teralihkan. Dalam beberapa kasus tidak jarang hakim menjatuhkan putusan yang keliru.