Permasalahan seputar Pancasila kini kembali hidup. Salah satu faktor yang menyebabkan maraknya ideologi di Indonesia adalah kebebasan yang terbuka lebar bagi semua kalangan ketika jatuhnya Rezim Orde Baru. Namun, hal tersebut bukanlah sesuatu yang buruk, karena pada dasarnya kebebasan yang terbuka lebar merupakan sebuah dobrakan besar di akhir pemerintahan yang otoriter.
Sejak jatuhnya Pemerintahan Orde Baru, pemerintah maupun elit politik terkesan gagap. Kegagapan ini pada dasarnya disebabkan oleh para masa yang cenderung berfokus untuk merobohkan rezim daripada lebih dalam memikirkan masa depan kehidupan politik dan sosial setelah tumbangnya Rezim Orde Baru. Pada sisi lain, tidak ada waktu lagi yang cukup bagi Indonesia untuk menyusun konsep perubahan dan proses penataan kenegaraan. Jalan pintas pun ditempuh, melalui dibukanya liberalisasi politik dan penyelenggaraan Pemilu (Hakim, 2015).
Reformasi Indonesia
Sejalan dengan hal itu, kebahagiaan terpancar bagi mereka yang telah menjatuhkan rezim otoriter, terkhusus elit politik rivalitas rezim. Mereka berbondong-bondong mendirikan partai politik, yang semula hanya tiga partai politik, namun setelah awal reformasi mencetak 48 partai politik yang mengikuti Pemilu.
Para tokoh masyarakat menjadi primadona untuk menduduki posisi strategis dalam susunan partai politik. Tidak heran, fokus elit politik kemudian berubah untuk memenangkan Pemilu yang segera digelar pada tahun 1999. Di tengah kebahagiaan rakyat Indonesia, keberagaman ideologi pun mendapat ruang gerak baru.
Jika kita melihat pada Pemerintahan Orde Baru, Suharto merupakan seorang tokoh sentral dalam negara. Suharto memposisikan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang komprehensif dan memonopoli kebenaran (Hakim, 2015). Pada kala itu, Suharto dapat dikatakan menjadi penafsir tunggal bagi Pancasila, yang mengakibatkan kematian terhadap ideologi dan pandangan politik lain yang berseberangan dengan pemerintah. Pancasila dengan tafsir tunggal ikut lengser bersamaan dengan runtuhnya Pemerintahan Orde Baru.
Dengan runtuhnya Soeharto, kini ideologi-ideologi nampak kembali hidup dalam liang kuburnya. Bahkan efek kebebasan semakin parah karena mengundang ideologi trans-nasional bergabung dalam dinamika kehidupan rakyat. Modusnya sangat familiar yakni dengan memanfaatkan kebebasan baik itu berpendapat, berkumpul dan berserikat. Dengan adanya hal tersebut, bukanlah hal yang mengejutkan lagi bahwa Indonesia kini menjadi tempat pertarungan antarideologi. Terlebih, dengan masuknya globalisasi semakin menerjang eksistensi Pancasila
Arus globalisasi yang terus mengalir membuat ketidakstabilan antara seseorang maupun sekelompok menghadapi budaya asing yang masuk seketika. Nilai-nilai budaya global merupakan penyebab timbulnya masalah-masalah sosial, seperti kecemburuan sosial, meningkatnya konflik rasial dan lain sebagainya. Secara hakikatnya, bagi bangsa Indonesia merupakan ancaman terhadap keberadaan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup.
Budaya yang cenderung mengedepankan demokrasi, namun tidak mengedepankan sikap dan perilaku mengakibatkan kebhinekaan terus diuji, kekerasan bertebaran, bahkan membawa agama atau etnis. Sehingga tidak menutup kemungkinan, mengubah arah ideologi Pancasila merupakan jalan yang akan ditempuh bagi mereka yang memiliki sikap primordialisme.
Bahkan sebutan-sebutan pribumi dan non-pribumi masih terdengar jelas di wilayah Zamrud Khatulistiwa ini. Padahal sejarah mencatat, sejak ribuan tahun yang lalu, Indonesia sudah menghadapi yang namanya tantangan global. Banyaknya sumber daya yang melimpah, membuat negara lain masuk ke Indonesia. Sehingga kata-kata pribumi dan non-pribumi tidak pernah relevan untuk digunakan.