Situasi kebebasan akademik dewasa ini di Indonesia semakin terancam dan mengkhawatirkan, setelah pekan lalu diskusi mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum UGM dengan judul “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”. Diikuti dengan terror dan ancaman, mulai berdatangan kepada nama-nama yang tercantum di dalam poster kegiatan: pembicara, moderator, serta narahubung. Berbagai terror dan ancaman CLS mulai dari pengiriman pemesanan ojek online kekediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka.
Tidak berhenti sampai disitu, diskusi Publik: #PapuanLivesMatter Rasisme Hukum di Papua” secara daring pada Sabtu, 6 Juni 2020, pukul 19:00-21:00, yang diselenggarakan oleh BEM Universitas Indonesia juga mendapatkan respon negatif, pada kasus ini terjadi di internal UI sendiri, dimana berdasarkan siaran pers nomor: peng-102/UN2.HIP/HMI.03/2020 yang pada intinya menyayangkan penyelenggaraan diskusi BEM UI tanpa pertimbangan dan perencanaan yang matang, ceroboh dan menghadirkan pembicara yang tidak layak. Walaupun, Diskusi BEM UI ini membahas kasus hukum terhadap tujuh pemuda Papua yang melakukan aksi antirasisme pada Agustus 2019 di Jayapura. Mereka ialah Ferry Kombo dan Alex Gobay, yang sama-sama dituntut 10 tahun penjara. Ferry adalah mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih, sedangkan Alex Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) (Tempo.co, 07/06/20).
Dua kasus tersebut mewakili fenomena gunung es pelanggaran kebebasan akademik di Indonesia, kondisinya yang sangat mengkhawatirkan namun sebenarnya tidak mencengangkan, mengingat praktik represif di dunia akademik menjadi hal yang jamak terjadi di Indonesia. Bagaimana mekanisme hukum HAM dan pandangan teoretis dalam menyikapi fenomena ancaman atas kebebasan akademik di Indonesia
Kebebasan Akademik dan Ancamannya
Survey Lokataru pada tahun 2019, Tindakan pelemahan kebebasan akademik dilakukan oleh berbagai pihak. Dari 57 kasus, mayoritas pelakunya adalah pihak kampus (rektorat) sebanyak 22 kasus serta dosen/lembaga mahasiswa 2 kasus. Selain pihak kampus, pelaku terbanyak kedua dilakukan oleh ormas (17 kasus), diikuti polisi/TNI (9 kasus), RT/RW dan warga setempat (4 kasus), serta kementerian (3 kasus).
Kemudian, model tekanan/pembatasan kebebasan akademik berdasarkan jenis tindakannya, yaitu: (1) represi terhadap institusi Perguruan Tinggi yang terjadi dalam bentuk penerbitan regulasi; (2) represi terhadap pelaksanaan kegiatan akademik dan kebebasan berekspresi; (3) represi terhadap mahasiswa, baik yang aktif di BEM maupun LPM; serta (4) represi lain yang mengurangi fungsi perguruan tinggi.