Secara fungsional, hakim memegang peranan inti dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan. Sebagai pejabat peradilan negara, hakim telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib untuk menjaga kemandirian peradilan. Segala campur tangan pihak lain diluar kekuasaan kehakiman yang dapat mempengaruhi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dilarang, kecuali hal-hal yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hakim pada Mahkamah Agung serta hakim pada badan peradilan yang ada di bawahnya baik dalam lingkup peradilan umum, lingkup peradilan agama, lingkup peradilan militer, lingkup peradilan tata usaha negara, serta hakim pengadilan khusus yang berada dalam setiap lingkup peradilan tersebut.
Hakim di dalam lingkup badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung terdapat dua macam, yaitu hakim karier dan hakim non-karier. Hakim karier adalah profesi hakim yang murni diperoleh dari pendidikan sarjana hukum dengan segala tambahan basis lainnya. Sedangkan, hakim non-karier (hakim ad hoc) tidak berawal dari profesi hakim. Hakim ad hoc bukan berasal dari orang yang berlatar belakang di bidang kehakiman. Melainkan, orang yang memiliki keahlian khusus sesuai dengan disiplin ilmunya.
Dalam pelaksanaannya, tugas hakim ad hoc tidak selalu berada pada pengadilan khusus yang bersifat sementara. Sebagian besar merupakan pengadilan khusus yang bersifat permanen, seperti pengadilan HAM, pengadilan niaga, pengadilan perikanan, dan pengadilan tindak pidana korupsi.
Bertepatan dengan adanya hakim ad hoc dalam pengadilan khusus tindak pidana korupsi, hakim ad hoc dapat memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara tindak pidana korupsi yang menjadi tugasnya dalam menegakan keadilan sesuai dengan bidang keahlian serta pengalaman yang dimiliki pada kasus tertentu.
Seperti dalam kasus dugaan korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Perkara ini terkait dengan penerbitan SKL untuk debitur BLBI yang juga selaku obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Syamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Perbuatan Syafruddin diyakini telah menghilangkan hak tagih terhadap debitur Syamsul Nursalim, sehingga pemerintah merugi dengan hanya menerima Rp 220 miliar rupiah dari total penerimaan negara yang seharusnya senilai Rp 4,8 triliun rupiah.
Dalam pengadilan tingkat pertama, pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Syafruddin telah divonis 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menambah vonis Syafruddin menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. Tetapi, keputusan hakim pada tingkat pertama dan banding dimentahkan pada level kasasi.
MA telah mengabulkan kasasi Syafruddin, majelis hakim MA menyatakan bahwa perbuatan Syafruddin telah terbukti sesuai dengan dakwaan, tetapi perkara ini dinilai bukan merupakan tindak pidana. Dengan demikian, Syafruddin berhak terlepas dari tuntutan hukum atau dakwaan. Terlepas dari putusan yang dinilai tidak tepat, putusan tersebut tetap sah menurut hukum. Sesuai dengan asas hukum Res judicata proveri tate habetur, yang berarti putusan hakim dianggap benar. Sehingga putusan tersebut harus tetap dihormati.
Namun, dalam putusan kasasi tersebut tidak tercapai satu suara, dikarenakan terdapat perbebadaan pendapat dissenting opinion atas perbuatan Syafruddin. Hakim Salman Luthan mengkategorikan perkara kedalam ranah pidana. Sedangkan hakim anggota I Syamsul Rakan Chaniago menilai perkara ini masuk kedalam ranah perdata. Sementara hakim anggota II Mohammad Askin menilai kasus ini termasuk kedalam ranah hukum administrasi.