Saat ini, usia Komisi Pemberantasan Korupsi hampir menginjak angka 17 tahun. Walaupun masih tergolong muda, sepak terjang KPK tidaklah bisa diremehkan. KPK telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga independen ini menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia untuk memimpin upaya pemberantasan korupsi. Sebagai lembaga berusia ‘remaja’, KPK benar-benar berhasil meyakinkan masyarakat bahwa lembaga yang lahir dari rahim reformasi ini telah sukses dalam upaya membersihkan perilaku KKN yang menggurita di tanah air.
Keadaan yang sangat disayangkan adalah ketika kepercayaan masyarakat kepada KPK harus dibayar mahal atas perbuatan para perwakilan rakyat di Senayan yang lagi-lagi berulah. Dikatakan lagi-lagi ialah karena telah berulang kali DPR mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya UU KPK). Akhirnya, usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR disetujui secara resmi pada Kamis (05/09/2019) untuk merevisi UU KPK.
Apa yang menjadi masalah?
Usulan revisi UU KPK oleh DPR merupakan kedok pengebirian independensi KPK. Ketakutan itu bukan tanpa alasan, upaya pelemahan KPK oleh DPR dapat terlihat terang benderang pada pasal-pasal perubahan UU KPK yang semakin mengerdilkan kewenangan lembaga pemberantasan korupsi ini. Sebelum meneruskan tulisan ini, patut dipahami bahwa alasan penolakan revisi UU KPK bukan pada menolak untuk merevisinya, namun substansi pasal-pasal pada UU KPK yang akan ditambah dan dikurangilah yang menjadi momok bagi keberlangsungan KPK untuk bekerja secara optimal.
Perkembangan zaman memaksa negara Indonesia membentuk lembaga negara keempat di luar Trias Politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Itulah yang dikenal sebagai lembaga negara penunjang, KPK termuat di dalamnya. Walaupun tidak tercantum pada UUD NRI 1945, pada dasarnya original intent KPK memang ditujukan sebagai lembaga negara independen.