Beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti terhadap terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun. Sebelumnya, di pengadilan tingkat pertama pada tahun 2016, Baiq Nuril divonis bebas. Namun di tingkat kasasi, Baiq Nuril divonis dengan hukuman 6 bulan dan denda Rp500 juta subsidair 3 bulan.
Baiq Nuril merupakan seorang korban pelecehan seksual yang dilakukan mantan atasannya saat ia menjadi tenaga honorer di SMAN 7 Mataram. Namun, saat merekam pembicaraan asusila atasannya pada 2012 silam, ia justru dikriminalisasi dengan tuduhan menyebarkan konten bermuatan asusila. Dengan dikeluarkannya amnesti Presiden ini, maka Nuril yang sebelumnya divonis Mahkamah Agung (MA) melanggar UU ITE pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa Presiden membebaskan narapidana, bahkan yang telah divonis bersalah pada pengadilan tingkat tertinggi (MA)? Apakah ini hak ini termasuk cabang kekuasaan Presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif? Atau Presiden memiliki kekuasaan intervensi pada kekuasaan kehakiman?
Amnesti, Abolisi, Grasi dan Rehabilitasi: Empat Hak Sakti Presiden
Ternyata, Presiden memang memiliki hak sakti yang begitu istimewa. Selain Amnesti, ada 3 hak sakti lainnya yang dimiliki Presiden, yakni Abolisi, Grasi dan Rehabilitasi. Presiden memang benar-benar bisa mengintervensi kekuasaan kehakiman dong? Tidak juga. Sebab, keempat tersebut bertujuan untuk memenuhi nilai kemanusiaan, serta bagaimana negara mengedepankan kemanusiaan sebagai kepentingan publik. Jadi, hak istimewa ini bukan tentang posisi benar atau salah, namun mempertimbangkan kepentingan umum dalam urusan kemanusiaan yang menjadi kepentingan negara.
Meski keempat hak ini dijamin oleh konstitusi di dalam Pasal 14 UUD NRI 1945, namun Presiden juga tidak boleh asal-asalan dalam menggunakannya. Hak istimewa ini harus selektif dalam penggunaannya, bahkan harus melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung.
Jadi, apa Perbedaan Amnesti, Abolisi, Grasi dan Rehabilitasi?
Amnesti dan Abolisi diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi. Amnesti adalah penghapusan semua akibat hukum pidana pada terpidana. Sementara itu Abolisi adalah meniadakan penuntutan dalam proses peradilan pidana serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan.
Kedua hak ini hanya diberikan Presiden setelah meminta dan mendapatkan nasihat tertulis dari Mahkamah Agung. Atas kepentingan Negara, Presiden dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.