“Bonum communae bono privato praeferri debet”. Kalimat yang patut untuk kita refleksikan dalam rangka menjalankan hukum. Postulat tersebut memiliki arti bahwa kepentingan umum lebih penting/harus selalu diutamakan daripada kepentingan pribadi.
Sebelum menyelami postulat tersebut, dalam dunia filsafat kita mengenal istilah actus hominis, tindakan manusia tampil sebagi suatu gerakan belaka. Dalam tindakan itu manusia berada pada level yang paling rendah, yaitu level vegetatif (level tindakan yang dimiliki oleh semua makhluk hidup yang gerakannya melulu ditentukan oleh desakan natural.
Gerakan semacam ini lebih berupa insting, refleks, atau apa saja yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk hidup pada umumnya. Gerakan semacam ini tidak melukiskan siapakah manusia, melainkan hanya memosisikannya sebagai bagian dari makhluk hidup dengan ciri khas memiliki fisik, bergerak, dan ada. Oleh karena itu actus hominis ini berada di luar lapangan penilaian moral, tindakan fisik yang dimiliki manusia.
Apa saja yang termasuk tindakan fisik? Makan, tidur, minum, berlari, dan seterusnya. Dalam tindakan yang demikian manusia jelas tidak menyertakan rasionalitasnya. Ia bahkan tidak sadar tentang apa yang ia lakukan.
Tampak bahwa dalam taraf ini tindakan manusia tidak berbeda dengan tingkah laku yang dimiliki oleh binatang. Harus dikatakan bahwa dalam taraf actus hominis ini manusia bertindak sama persis dengan binatang.
Bagaimana tindakan ini disoroti oleh etika? Sudah barang tentu dalam kasus semacam ini manusia tidak mengedepankan kemanusiaannya dalam bertindak, penilaian etis pun tidak dapat dikenakan kepadanya.
Rasionalitaslah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain, maka tindakan yang tidak menyertakan rasionalitas juga tak dapat dinilai secara etis. Dengan demikian orang gila tidak dapat dinilai secara moral, karena di sana ia tidak tampil penuh sebagai seorang manusia.