Menggaungnya isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode, telah menimbulkan banyak polemik dikalangan akademisi dan praktisi. Salah satu alasan mengapa harus ada perpanjangan masa jabatan presiden yakni karena belum selesainya wabah pandemi di dalam negeri, dan juga kondisi ekonomi yang belum setabil. Anggaran yang besar untuk menyelenggarakan pemilu sebaiknya dipergunakan untuk memulihkan ekonomi.
Alasan tersebut justru sangat tidak sejalan. Jika melihat data yang dirilis oleh BPS, perekonomian Indonesia per tahun 2021 justru mengalami kenaikan secara signifikan yakni 7,07 persen dan prediksi BPS beberapa tahun kedepan akan terus mengalami peningkatan. Oleh karena itu, tidak relevan kiranya apabila dengan kondisi ekonomi tersebut diperlukan adanya perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan Pemilu 2024.
Lebih lanjut, jika melihat data dalam International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) per akhir 2021 sudah tidak ada lagi yang menunda pemilu ataupun memperpanjang masa jabatan presiden, dengan alasan pandemi COVID-19. Akan tetapi di beberapa negara yang mengalami penundaan pemilu, justru dalam skala kecil seperti desa dan lainnya (idea.int, 2021).
Sejalan dengan data tersebut, riset Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga menyatakan hal yang sama bahwa wacana perpanjangan masa jabatan presiden ini sebenarnya sudah dapat dirasakan sejak dibatalkannya revisi UU No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta tidak konsistennya penentuan jadwal pemungutan suara (perludem.org, 2022).
Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Kemunduran Demokrasi
Apabila perpanjangan masa jabatan presiden ini benar-benar terjadi, hal tersebut tidak hanya melanggar semangat reformasi, tapi juga akan berpotensi melanggar UUD 1945 sebagai payung hukum utama di Indonesia.