Nyatanya Kebahagiaan tidak ada wujud bakunya. Satu individu bahagia karena satu hal, namun individu yang lain juga bahagia karena suatu hal yang berbeda. Maka di mana letak kebahagiaan yang harus diutamakan. Bahagia bagi diri sendiri atau bahagia bagi orang lain terlebih dahulu.
Hal ini menjadi menarik dibahas lebih lanjut. Karena seringkali kebahagiaan diri berbenturan dengan bahagia orang lain. Sehingga harus ada satu pihak yang tidak teraplikasikan kebahagiaanya demi kebahagiaan yang lain. Tapi sebelum beranjak, harus diperjelas terlebih dahulu difusi antara keinginan dan kebahagiaan agar semuanya tidak menjadi rancu.
Agama yang telah lahir di Zaman abad pertengahan mengajarkan kita, dengan tafakkur, doa, sembahyang, dan cara lain untuk mengejar ketenangan diri. Tujuannya membebaskan diri dari dorongan dan keinginan inderawi ketika mengejar kesenangan. Keinginan lekat dengan hawa nafsu yang dapat menjadi bumerang keterpurukan jika tidak dikendalikan dengan logika.
Dari penyataan berikut ada pernyataan implisit yang dapat diterangkan yaitu kebahagiaan berkedengan ketenangan. Jika dipikirkan dengan jernih, ketenangan tidak bergantung dengan keinginan hawa nafsu akan harta, benda dan tahta. Jauh dari itu , ketenangan yang dimaksud adalah terhindar dari rasa gelisah dan nestapa. Setelah menarik garis batas perbedaan antara kebahagiaan dan keinginan, tidak ada halangan untuk berangkat lebih lanjut ke diskusi prioritas antara kebahagiaan diri dan kebahagiaan orang lain.
Kebahagiaan yang lekat dengan kebijakan akan tumbuh dari hal-hal yang baik. Buah jatuh tidak jatuh dari pohonya, maka hal yang baik tentu akan melahirkan yang baik pula. Terkait dengan hal tersebut maka tidak dapat dipungkiri kebahagiaan yang susungguhnya tidak akan memberi kesedihan atau keburukan bagi orang lain. Jika hal tersebut (kebahagiaan) menciptakan hal yang sebaliknya maka hal tersebut bukanlah kebahagiaan sesungguhnya. Tetapi hal ini tidak akan ada habisnya jika tidak dibahas dengan bijaksana.
Kembali pada buah pemikiran Thomas Aquinas, dengan jelas menyatakan bahwa manusia tidak akan memiliki sifat yang sempurna. Karena sifat manusia terbentuk bukan karena kewajiban dan tanpa pilihan. Hanya Tuhan yang memiliki sifat kebijaksanaan yang paling bijak. Sehingga manusia seharus dekat dengan ajaran Tuhan agar dapat memiliki sifat kebijakan tersebut, setidaknya ada, bukan sesempurna yang Tuhan miliki.
Ajaran Tuhan mengajarkan ketenangan, dimana kita dapat menerima, ikhlas dan sabar ketika keinginan tidak atau belum terpenuhi. Hanya dengan ajaran Tuhan bahwa bahagia sesungguhnya adalah bersyukur dengan apa yang dimiliki yang telah menjadi fitrah atau kodrat setiap individu sesuai dengan kebijakan-Nya.
Pada murninya cita cita, Kebahagiaan yang universal. Tetapi, semakin banyak variabel (individu) maka kondisi yang tercipta akan semakin bervariasi. Hampir mustahil jika secara menyeluruh tanpa terkecuali semua manusia memiliki sifat yang bijak. Maka hanya individu yang lekat dengan ajaran Tuhan yang dapat memahami apa yang pantas menjadi miliknya dan yang seharusnya milik orang lain.