Kedaulatan rakyat yang berada di tangan rakyat, tadinya dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan perubahan ketiga kedaulatan rakyat tersebut kemudian dilaksanakan menurut UUD. Untuk memahami posisi Mahkamah Konstitusi dan upaya memposisikannya kembali secara lebih tepat di dalam sistem ketatanegaraan kita, maka perlu melihat kembali latar belakang reformasi dunia peradilan, khususnya reformasi kekuasaan kehakiman, yang puncaknya terjadi pada tahun 1998.
Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut MK, memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yang merupakan bagian konsep checks and balances. Konsep ini sendiri merupakan hasil perkembangan gagasan modern sistem pemerintahan demokrasi yang berdasarkan ide Negara Hukum (rule of law), pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta perlindungan dari pemajuan hak-hak asasi manusia.
Ada 2 (dua) tugas pokok yang diemban melalui constitutional review, yaitu (1) Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbang peran (interplay) antara cabang kekuasaan legislative, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan. Melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan warganegara yang merugikan hak – hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi.
Terdapat tiga putusan MK yang dianalisis serta dapat dikategorikan bersifat positive legislature. Pertama Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Dan Kedudukan Anak Luar Perkawinan. Kedua, Putusan Nomor 102/PUUVII/2009 Tentang Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden (Pilpres). Ketiga, Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam ketiga putusan ini Mahkamah Konstitusi melakukan apa yang disebut sebagai fungsi positive legislature dalam putusannya. Menempatkan keadilan di atas hukum dan bukan sebaliknya. Putusan – putusan tersebut memperlihatkan pentingnya kreativitas dan kepeloporan hakim dalam penegakan hukum. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain dimaksudkan untuk mengatasi ketertinggalan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat terobosan – terobosan hukum, bahkan bila perlu melakukan rule breaking.
Dasar pertimbangan hakim MK membuat putusan yang bersifat positive legislature mencangkup dua jenis pertimbangan hukum, pertama untuk menjamin hak-hak konstitusional warga negara dan kedua pertimbangan argumentasi. Pertimbangan menggali, mengikuti, dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan substantif. Pertimbangan argumentasi yaitu melalui metode penafsiran untuk menemukan hukum. Sehingga pada putusan positive legislature yang dikaji dalam penelitian ini.
Hakim MK didalam melakukan pengujian konstitusionalitas suatu Undang – undang tidak hanya berpikir dengan pertimbangan sempit, yaitu hanya memeriksa apakah undang-undang tersebut bertentangan atau tidak dengan UUD NRI 1945. MK harus mampu melihat dan menjangkau dengan perspektif yang lebih luas. Putusan MK tidak boleh berisi norma (bersifat mengatur), MK tidak boleh memutus melebihi permohonan (ultra petita), atau dalam hal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), MK hanya berwenang memutus perselisihan atau kesalahan rekapitulasi penghitungan suara. Namun, praktiknya rambu-rambu tersebut sulit selalu ditaati.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.