Titik akhir dari manusia bukan berakhirnya nafas dan jetak jantung. Akan ada alam yang akan manusia tempuh setelah Alam semesta. Kebahagiaan tidak akan tercapai di dunia dengan terpenuhinya materi dan benda benda yang dapat dimiliki. Tapi bukan itu yang harus menjadi acuan, bukan berarti tidak ada yang harus dilakukan dan tidak ada yang berguna di dunia. Juga bukan bisa berlaku apa saja semaunya. Walaupun katanya kebahagiaan di dunia adalah fatamorgana. Untuk menjadi baik adalah mutlak untuk semua makhluk.
Seperti yang telah dijelaskan di bagian pendahuluan. Bahwa kebajikan untuk keutamaan tetaplah harus dilaksanakan. Demi menyeimbangi kehidupan bermasyarakat. Terlihat perkembangan pemikiran manusia, dari zaman yunani kuno hingga zaman pertengahan. Ada hal yang belum menjadii intensi yang serius pada zaman Yunani Kuno.
Pada zaman tersebut paparan tentang kebajikan dan bagaimana seharusnya manusia hidup dikalangan masyarakat dan mengimbangi alam semesta. Tapi ternyata tidak berhenti di sana. Yaitu keberadaan Allah atau Tuhan menjadi gagasan yang cukup serius pada zaman abad pertengahan. Tidak lepas dari pengaruh pemikiran Aristoteles yang sudah mulai memasukan unsur teologi, St. Agustinus, yang termasuk tokoh paling orsinal pada masa itu. St. Agustinus lahir sebagai filsuf zaman pertengahan.
Augustinus mengatakan bahwa sesungguhnya ada dua macam negara. Yang pertama ialah Negara Allah (Civitas Dei) yang sering juga disebutnya sebagai negara surgawi. Yang kedua ialah negara sekuler (civitas terrena/ negara duniawi). Agustinus juga memiliki pernyataan tentang ketertiban. “Sejumlah orang banyak yang harmonis” dengan kesan bahwa dihadirkan ketertiban dari hati manusia yang ingin berkehendak sebuah ketertiban. Jika, didalam pengetahuanya ada ajaran Tuhan.
Selain St Agustinus, Ada Thomas Aquinas yang sebelumnya telah di sebutkan. Dalam etikanya, Aquinas mengatakan bahwa tujuan akhir manusia ialah memandang realitas tertinggi yang berarti adalah Allah. Manusa adalah keterbukaan atau potensialitas tak terhingga. Dan secara kodrat hanya Allah yang dapat memenuhi keterbukaan itu. Itulah sebabnya hanya dapat berbahagia jika memandang Allah.
Berdasarkan realitas memang ada yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Seperti tindakan dan opini orang lain, kesehatan, kondisi lahir dan sesuatu yang diluar pikiran dan tindakan (cuaca, gempa bumi dan peristiwa alam). Lain hal dengan pertimbangan, keinginan dan tujuan diri yang inheren dengan kendali diri sepenuhnya. Keadaan ini mengantarkan kepada pertanyaan, lantas siapa yang dapat mengendalikan sesuatu yang tidak dapat dikendakikan diri kita?
Untuk opini dan tindakan orang lain, sudah pasti orang tersebut yang dapat mengendalikanya. Namun siapa yang mengendalikan sesuatu hal seperti peristiwa alam, gempa bumi , Tsunami dan lain lain?. Disini kekosongan logika yang patut disuntik dengan ‘budi’ yang bermakna tahu menurut Plato. Kebajikan yang melahirkan kebijakan manusia sepertinya tidak juga dapat menghasilkan kesempurnaan. Memang seperti ada entitas yang lain yang lebih mampu dalam mengolah keseimbangan ini dengan sempurna. Ada yang Maha dan ada yang Esa.
Keberadaan Tuhan yang mulai dikemukakan pada zaman abad pertengahan membuat pola hidup yang juga berkembang. Di mana ada alam yang akan kita tempuh sesudah berhentinya kehidupan di alam semesta. Bahagia yang telah dipaparkan menurut para filsuf telah terang keberadaanya. Namun bagaimana bisa mengoptimalkan kebajikan (virtue) demi kebahagiaan.