Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat kenaikan tindak pidana korupsi, dengan uraian sebagai berikut:
- Pada 2018: 1.053 perkara, 1.162 terdakwa.
- Pada 2019: 1.019 perkara, 1.125 terdakwa.
- Pada 2020: 1.218 perkara, 1.298 terdakwa.
- Pada 2021: 1.282 perkara, 1.404 terdakwa.
Tulisan ini akan memaparkan beberapa sebab atau latar belakang lima tren para koruptor dari beberapa sudut pandang.
1. Vonis yang ringan
Pada 23 Agustus 202, mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara mendapat vonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Juliari terbukti sah dan meyakinkan bersalah dengan melakukan tindak pidana korupsi yaitu menerima suap Rp 32,4 miliar.
Vonis tersebut tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Majelis hakim beranggapan bahwa Juliari patut mendapatkan keringanan hukum karena banyak mendapatkan cacian dari masyarakat. Merujuk Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi, pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00.
Berdasarkan data dari pemantauan vonis pada setiap tingkatan pengadilan, rata-rata vonis oleh Mahkamah Agung (MA) kepada koruptor masih lebih tinggi daripada oleh Pengadilan Tinggi dan Tipikor. Rata-rata, MA menjatuhkan hukuman 71 bulan penjara, sedangkan pada Pengadilan Tinggi dan Tipikor rata-rata memberikan vonis 44 dan 36 bulan penjara.
Wajar apabila tindakan korupsi akan terus mendapatkan vonis ringan. Ini sekaligus sebagai celah melemahnya komitmen pengadilan untuk memberantas tindak pidana korupsi.
2. Hak politik para koruptor tidak dicabut
Pada 2018, Peraturan KPU 20/2018 sempat melarang mantan koruptor untuk ikut serta dalam pemilihan legislatif pada Pemilu 2019. Namun larangan tersebut, dibatalkan oleh MA menjelang Pemilu 2019. Artinya, mantan narapidana korupsi dapat mencalonkan diri. Pasal 45A(2) PKPU 31/2018 mensyaratkan lampiran yang diajukan oleh calon berupa keterangan status sebagai mantan narapidana korupsi kepada publik.