Tahun 2020 silam masyarakat dunia diramaikan dengan Coronavirus Diseases 2019 (COVID-19) di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok, yang berdampak serius secara global. Virus ini telah mengakibatkan di berbagai bidang mengalami kerugian. Saat itu, COVID-19 telah ditemukan di 188 negara, termasuk Indonesia.
Merespon hal tersebut, pemerintah menetapkan penyebaran COVID-19 sebagai krisis bencana non-alam nasional. Pandemi COVID-19 mengubah gaya hidup masyarakat secara drastis. Perubahan tersebut misalnya dalam bidang pendidikan dikenal pembelajaran daring. Begitu juga aktivitas kantor dilaksanalan di rumah, dikenal dengan istilah WFH (Work From Home). Selain itu, juga masih terdapat berbagai pelayanan yang dilakukan secara daring.
Pada saat yang sama, tidak dapat disangkal bahwa pandemi memberikan tekanan pikiran atau mental kepada setiap orang. Hal tersebut dapat semakin parah apabila seseorang mengalami himpitan ekonomi, khususnya bagi mereka yang telah berkeluarga. Tekanan tersebut diperparah dengan pembatasan kegiatan maupun pembatasan fisik.
Tekanan dan keadaan tersebut dapat mendorong akan tindakan KDRT. Jumlah kasus KDRT selama pandemi mengalami peningkatan karena kebijakan pembatasan sosial/pembatasan kegiatan. Menurut Komnas Perempuan, kasus KDRT pada 2020 melonjak 75%.
KDRT didefinisikan sebagai perbuatan seorang terhadap yang lain, utamanya perempuan dan anak, yang berdampak timbulnya penderitaan secara fisik, seksual, maupun psikologis. Namun dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menambahkan 1 bentuk KDRT, yaitu penelantaran rumah tangga.
Kekerasan fisik berarti perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau luka secara jamani dan cenderung meninggalkan bekas kekerasan. Kekerasan psikis lebih kepada dibuatnya korban merasa takut, sakit hati, merasa buruk.
Kekerasan seksual lebih kepada bentuk paksaan melakukan hal seksual, baik persetubuhan atau bukan. Kekerasan penelantaran lebih kepada mengabaikan kewajiban pelaku dalam konteks berkeluarga.
Penyebab KDRT secara umum terbagi dua, yaitu faktor intern, berupa adanya kebutuhan hidup manusia yang tidak tersalurkan, perbedaan minat dan motivasi, maupun kejiwaan anggota keluarga terkait. Selain faktor intern, ada faktor ekstern seperti kondisi ekonomi keluarga, lingkungan sosial sekitar, serta stigma masyarakat akan pandangan patriarkis.
Pandemi menimbulkan beberapa faktor pendorong baru terjadinya KDRT, antara lain karena adanya menghabiskan waktu bersama keluarga yang lebih lama sehingga juga berpotensi menimbulkan konflik; beban pikiran anggota keluarga yang stress; tekanan ekonomi akibat situasi yang sulit; serta akses kepada lembaga bantuan dan advokasi maupun kerabat korban yang sulit sehingga semakin membuka ruang kekerasan semena-mena oleh pelaku.
Sejatinya perlindungan terhadap Perempuan dan Anak dalam mencegah terjadinya KDRT telah diatur dalam UU KDRT maupun UU Perlindungan Anak (UU No 35/2014). Namun UU Perlindungan Anak masih lemah dalam mengawasi semasa pandemi COVID-19 karena pelaku yang merupakan orang tua sendiri atau orang yang lebih dewasa.
Konsekuensinya, hal ini menimbulkan rasa takut hukuman, sehingga banyak kasus berujung pada perdamaian dengan alasan kepentingan yang terbaik bagi enak sehingga nihilnya rasa jera bagi pelaku kekerasan. Kewajiban melindungi anak dalam penyelenggaraan perlindungan anak merupakan tugas seluruh warga negara, disamping adanya lembaga pemerintah terkait yang menangani pemberdayaan & perlindungan anak.
UU PKDRT menjadi landasaan penanganan kasus kekerasaan dalam lingkup keluarga yang lebih spesifik dibanding KUHP. UU PKDRT juga memiliki muatan substantif yang lebih komprehensif, sebab turut memberikan pengaturan terhadap para pihak yang terlibat dalam pencegahan & perlindungan KDRT serta pendampingan korban.
Berlakunya UU PKDRT secara sosiologis diharapkan mampu mengatur masyarakat agar menghindari praktik KDRT. Apabila ditinjau dari aspek pembentukan hukum, UU PKDRT memenuhi aspek filosofis sebab UU ini berlandaskan atas UUD 1945 yang mengakui kebebasan individu.
Memenuhi aspek sosiologis sebab memberi secercah harapan bagi kelompok wanita dan anak yang merupakan kelompok rentan akan adanya perlindungan dan keadilan; serta aspek yuridis sebab KDRT telah menjadi permasalah hukum sehingga diperlukan aturan hukum untuk mengisi kekosongan tersebut.
Aspek HAM dalam isu KDRT ini adalah bahwasannya setiap orang, khususnya perempuan dan anak, berhak atas rasa aman, hak untuk hidup, tidak disika, tidak mendapat kekerasan, hak perlindungan diri pribadi, hak hidup sejahtera lahir dan batin sebagaimana diakui dalam Pasal 28A, 28B ayat (2), 28G, 28H ayat (1), dan 28I ayat (1). Hak tersebut harus diwujudkan oleh negara sebagai yang diberikan mandat tuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM.
Salah satu upaya konkrit Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak yang menggandeng United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) bersama Yayasan Pulih, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, dan Lembaga Penyedia Layanan berhasil menyusun protokol pedomanan penanganan kasus terhadap perempuan, yang merupakan adopsi dari Panduan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender, meskipun di tengah situasi kondisi pandemi namun korban tetap terlayani dan ditangani lembaga terkait.
Upaya pendukung lainnya yang dilakukan Pemerintah adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), dan petugas layanan P2TP2A di daerah masing-masing untuk pro aktif menelusri dan menerima advokasi/pelaporan kasus KDRT atau kekerasan dalam pacaran.
Upaya lain dilakukan oleh Pemerintah Aceh menggelar sosialisasi daring melalui webinar internasional yang mengangkat tema ‘Upaya Membangun Sistem Dukungan untuk Perempuan dan Anak akibat Perceraian,’ dengan menggandeng Pemerintah Australia, dengan tujuan memberi sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang ramah kekerasan perempuan dan anak.