Pemutusan Hubungan Kerja Dalam UU Cipta Kerja
Pengertian mengenai Pemutusan hubungan kerja (PHK) terdapat di dalam ketentuan umum UU Ketenagakerjaan, yakni pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam hal ini, pengusaha memiliki kuasa yang lebih tinggi daripada buruh. Kuasa yang dimiliki oleh pengusaha didukung oleh sumber daya yang dimiliki olehnya, sehingga pengusaha dapat memberikan lapangan pekerjaan dan upah bagi buruh. Besarnya kuasa yang dimiliki oleh pengusaha haruslah dibatasi. Karena dengan kuasa yang besar, pengusaha dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap buruh.
Aturan yang membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh pengusaha perlu hadir. UU Ketenagakerjaan merupakan aturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk melindungi buruh dari kesewenang-wenangan pengusaha. Peran pemerintah menjadi sangat penting karena dengan segala regulasi yang dibuat dapat berdampak langsung bagi masyarakat. Akan tetapi, dengan hadirnya UU Cipta Kerja perlindungan dan hak-hak buruh menjadi tereduksi.
UU Ciptaker khususnya pada kluster ketenagakerjaan memudahkan pengusaha atau perusahaan untuk dapat melakukan PHK kepada pekerja dengan berbagai alasan. Ketentuan ini secara normatif termuat dalam pasal 154A. Tentu, persoalan mengenai PHK menjadi persoalan serius yang sebelumnya tidak ditemui dalam rezim Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Padahal di dalam UU Ketenagakerjaan tidak mengenal adanya terminologi yang mengatur sebab terjadinya PHK oleh pengusaha. Hadirnya pasal a quo akan memudahkan bagi pihak pengusaha atau perusahaan untuk melakukan PHK kepada pekerjanya.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar oleh pengusaha untuk melakukan PHK yang termuat dalam pasal 154A, diantaranya: 1) perusahaan dapat melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, sekalipun pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh; 2) perusahaan dapat melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian; 3) perusahaan dapat tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun; dan lain-lain.
Selain itu, adanya UU Cipta Kerja juga mereduksi hak-hak buruh terkait dengan pesangon yang harus diberikan oleh pengusaha kepada buruh. Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 42. sd. pasal 47, serta pasal 52 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Pasal-pasal tersebut mengatur bahwa pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan tertentu, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan yang telah diatur. Hal ini berbeda dengan ketentuan di dalam pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang memberikan pekerja/buruh pesangon dua kali lipat ketentuan yang telah diatur. Hadirnya UU Cipta Kerja mengisyaratkan bahwa pemerintah sangat bersemangat untuk membuka lapangan pekerjaan, akan tetapi pemerintah juga mengorbankan hak-hak yang dimiliki oleh buruh.
Analisis PHK dalam UU Cipta Kerja Terhadap Konsep Negara Kesejahteraan
Permasalahan PHK dalam UU Cipta Kerja menjadi sangat penting untuk dibahas. Karena PHK merupakan satu hal yang fundamental dalam ketenagakerjaan, sebab PHK merupakan tanda hilangnya mata pencaharian seseorang. Terlebih bagi seorang kepala keluarga yang harus menghidupi istri dan anaknya. Tanpa adanya pekerjaan, mereka tidak akan mendapatkan uang. Tanpa adanya uang, mereka tidak akan merasakan kehidupan yang layak.
UU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk melaksanakan usahanya. Akan tetapi, kemudahan tersebut juga diikuti dengan kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan PHK terhadap buruh. Hal ini sangat merugikan kaum buruh. Selain itu, diperparah lagi dengan pengurangan jumlah pesangon yang didapatkan buruh ketika dilakukan PHK terhadapnya. Sehingga, kesengsaraan yang didapatkan oleh buruh menjadi dua kali lipat.
Negara Indonesia secara normatif telah menuangkan konsepsi negara kesejahteraan di dalam konstitusinya. Sehingga, menjadi konsekuensi logis bagi negara untuk melakukan segala upaya dalam rangka menyejahterakan masyarakat. Namun, pada kenyataannya konsepsi tersebut hanyalah sekedar konsepsi. UU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan menjadi bukti bahwa konsep negara kesejahteraan tidak tercermin sama sekali dalam bunyi normanya.