Negara harus bertanggung jawab dalam menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya (welfare state). Negara yang direpresentasikan melalui pemerintah memiliki kuasa secara penuh untuk mengeluarkan regulasi yang mengikat bagi seluruh rakyatnya. Kekuasaan tersebut haruslah bertujuan hanya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan pendapat Jeremy Bentham yang mengemukakan bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik dan sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang.
Pendapat Jeremy Bentham tersebut merupakan ide dasar dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness of the greatest number of their citizens.
Menurut Bentham, proposisi the greatest happiness of the greatest numberakan berperan penting bagi para legislator dalam mengeluarkan suatu produk legislasi agar menciptakan kebahagiaan yang optimal bagi seluruh masyarakat dengan jalan menciptakan identitas kepentingan antar anggota masyarakat. Sehingga negara memiliki porsi yang paling besar dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, khususnya masyarakat kluster pekerja.
Salah satu upaya negara untuk mewujudkan negara kesejahteraan adalah dengan menghadirkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). UU yang digadang-gadang dapat mengembangkan perekonomian Indonesia ini dilatarbelakangi oleh keinginan negara untuk membuka lapangan kerja sebesar-besarnya bagi para pekerja di Indonesia. Bahkan, BPS (Badan Pusat Statistik) telah mencatatkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,75 juta per Februari 2021. Akan tetapi, realitas yang ada (das sein), berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan (das sollen).
UU Ciptaker khususnya pada kluster ketenagakerjaan justru memudahkan pengusaha atau perusahaan untuk dapat melakukan PHK kepada pekerja dengan berbagai alasan. PHK merupakan satu hal yang fundamental dalam ketenagakerjaan, sebab PHK merupakan tanda hilangnya mata pencaharian seseorang. Penulis memandang terdapat urgensi untuk meneliti fenomena PHK dalam UU Cipta Kerja ditinjau dari konsep negara kesejahteraan. Tulisan ini diharapkan menjadi pertimbangan untuk dilakukannya perbaikan hukum oleh pemerintah, khususnya UU Cipta Kerja kluster Ketenagakerjaan. Sehingga, dengan adanya perbaikan hukum tersebut kesejahteraan pekerja/buruh menjadi terjaga.
Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Konsep negara kesejahteraan terkenal pada abad ke-18 ketika Jeremy Bentham mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness of the greatest number (kesejahteraan terbesar sebagai prioritas terbesar). Gagasan tersebutlah yang menjadi ide dasar atas konsep negara kesejahteraan. Konsep negara kesejahteraan milik Jeremy Bentham ini didasarkan pada prinsip utilitarianisme yang menyebutkan bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Dan sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk.
Pendapat Bentham terkait konsep walfare state ini dilatar belakangi oleh perhatiannya yang sangat besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu terlebih dahulu dan bukan langsung ke masyarakat. Akan tetapi, Bentham tidak menyangkal bahwa kepentingan masyarakat juga perlu diperhatikan. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan (homo homini lupus).
Dan untuk menyembangkan antara kepentingan individu dan masyarakat, Bentham menyarankan agar ada rasa simpati dari setiap individu. Akan tetapi, perhatian terbesar harus tetap pada individu. Hal ini karena kebahagiaan masyarakat akan dapat terwujudkan jika setiap individu telah memperoleh kebahagiaanya masing-masing. Sehingga, benang merah yang dapat ditarik disini ialah konsep negara kesejahteraan akan membawa suatu negara untuk memenuhi kebutuhan (kebahagiaan) untuk setiap warganya.
Negara Indonesia juga menganut adanya konsep negara kesejahteraan. Hal ini dapat ditemukan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 yang menjelaskan bahwa kesejahteraan umum menjadi salah satu fokus utama dalam membentuk membentuk pemerintahan negara Indonesia. Konsep welfare state yang telah dituangkan di dalam konstitusi secara langsung memberikan perintah kepada penyelenggara negara untuk menjalankannya. Setiap kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara juga harus berlandasakan pada konstitusi. Sehingga, konsep negara kesejahteraan juga harus menjadi landasan daripada pemerintah untuk mengeluarkan setiap kebijakan-kebijakannya, seperti membentuk dan mengesahkan peraturan perundang-undangan.
Pemutusan Hubungan Kerja Dalam UU Cipta Kerja
Pengertian mengenai Pemutusan hubungan kerja (PHK) terdapat di dalam ketentuan umum UU Ketenagakerjaan, yakni pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam hal ini, pengusaha memiliki kuasa yang lebih tinggi daripada buruh. Kuasa yang dimiliki oleh pengusaha didukung oleh sumber daya yang dimiliki olehnya, sehingga pengusaha dapat memberikan lapangan pekerjaan dan upah bagi buruh. Besarnya kuasa yang dimiliki oleh pengusaha haruslah dibatasi. Karena dengan kuasa yang besar, pengusaha dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap buruh.
Aturan yang membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh pengusaha perlu hadir. UU Ketenagakerjaan merupakan aturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk melindungi buruh dari kesewenang-wenangan pengusaha. Peran pemerintah menjadi sangat penting karena dengan segala regulasi yang dibuat dapat berdampak langsung bagi masyarakat. Akan tetapi, dengan hadirnya UU Cipta Kerja perlindungan dan hak-hak buruh menjadi tereduksi.
UU Ciptaker khususnya pada kluster ketenagakerjaan memudahkan pengusaha atau perusahaan untuk dapat melakukan PHK kepada pekerja dengan berbagai alasan. Ketentuan ini secara normatif termuat dalam pasal 154A. Tentu, persoalan mengenai PHK menjadi persoalan serius yang sebelumnya tidak ditemui dalam rezim Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Padahal di dalam UU Ketenagakerjaan tidak mengenal adanya terminologi yang mengatur sebab terjadinya PHK oleh pengusaha. Hadirnya pasal a quo akan memudahkan bagi pihak pengusaha atau perusahaan untuk melakukan PHK kepada pekerjanya.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar oleh pengusaha untuk melakukan PHK yang termuat dalam pasal 154A, diantaranya: 1) perusahaan dapat melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, sekalipun pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh; 2) perusahaan dapat melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian; 3) perusahaan dapat tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun; dan lain-lain.
Selain itu, adanya UU Cipta Kerja juga mereduksi hak-hak buruh terkait dengan pesangon yang harus diberikan oleh pengusaha kepada buruh. Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 42. sd. pasal 47, serta pasal 52 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Pasal-pasal tersebut mengatur bahwa pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan tertentu, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan yang telah diatur. Hal ini berbeda dengan ketentuan di dalam pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang memberikan pekerja/buruh pesangon dua kali lipat ketentuan yang telah diatur. Hadirnya UU Cipta Kerja mengisyaratkan bahwa pemerintah sangat bersemangat untuk membuka lapangan pekerjaan, akan tetapi pemerintah juga mengorbankan hak-hak yang dimiliki oleh buruh.
Analisis PHK dalam UU Cipta Kerja Terhadap Konsep Negara Kesejahteraan
Permasalahan PHK dalam UU Cipta Kerja menjadi sangat penting untuk dibahas. Karena PHK merupakan satu hal yang fundamental dalam ketenagakerjaan, sebab PHK merupakan tanda hilangnya mata pencaharian seseorang. Terlebih bagi seorang kepala keluarga yang harus menghidupi istri dan anaknya. Tanpa adanya pekerjaan, mereka tidak akan mendapatkan uang. Tanpa adanya uang, mereka tidak akan merasakan kehidupan yang layak.
UU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk melaksanakan usahanya. Akan tetapi, kemudahan tersebut juga diikuti dengan kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan PHK terhadap buruh. Hal ini sangat merugikan kaum buruh. Selain itu, diperparah lagi dengan pengurangan jumlah pesangon yang didapatkan buruh ketika dilakukan PHK terhadapnya. Sehingga, kesengsaraan yang didapatkan oleh buruh menjadi dua kali lipat.
Negara Indonesia secara normatif telah menuangkan konsepsi negara kesejahteraan di dalam konstitusinya. Sehingga, menjadi konsekuensi logis bagi negara untuk melakukan segala upaya dalam rangka menyejahterakan masyarakat. Namun, pada kenyataannya konsepsi tersebut hanyalah sekedar konsepsi. UU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan menjadi bukti bahwa konsep negara kesejahteraan tidak tercermin sama sekali dalam bunyi normanya.
Kemudahan pengusaha dalam melakukan PHK terhadap buruh dan pengurangan jumlah pesangon menjadi beban berat bagi buruh. Terlebih, buruh merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Perlu diketahui pula, berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah angkatan kerja pada bulan Februari 2021 telah mencapai 139,81 juta orang atau setengah lebih penduduk negara Indonesia. Sehingga, dengan kata lain sejumlah setengah lebih penduduk Indonesia akan mengalami dampak yang dihasilkan dari UU Cipta Kerja ini.
Dengan demikian, adanya UU Cipta Kerja ini berpotensi menambah kesengsaraan bagi buruh. Negara melalui pemerintah harus mengkaji ulang regulasi di dalam UU Cipta Kerja ini. Hal ini karena pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness of the greatest number of their citizens (kesejahteraan terbesar sebagai prioritas terbesar). Selain itu, regulasi mengenai PHK di dalam UU Cipta Kerja juga bertentangan dengan Pembukaan UUD NRI 1945 yang menjelaskan bahwa kesejahteraan umum menjadi salah satu fokus utama dalam membentuk membentuk pemerintahan negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Annur, C.M. 2021. Jumlah Pengangguran Capai 8,75 Juta Orang per Februari 2021. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/05/jumlah-pengangguran-capai-875-juta-orang-per-februari-2021.Diakses pada tanggal 26 Oktober 2021.
Wijayanti, A. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Cetakan ke-1. Jakarta: Sinar Grafika.
Asshiddiqie, J. 2011. Gagasan Negara Hukum Indonesia. http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. Diakses tanggal 26 September 2021
Dahlan, A dan S. Irfaan. 2014. Mengagas Negara Kesejahteraan. Jurnal El-JIZYA Vol. 2 No. 1.
Latipulhayat, A. 2015. Khazanah: Jeremy Bentham. PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 2.
Nuriyanto. 2014. Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Indonesia, Sudahkah Berlandaskan Konsep “Welfare State”?. Jurnal Konstitusi, Vol. 11, No. 3.
Sukmana, O. 2016. Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan (Welfare State). Jurnal Sospol, Vol. 2 No. 1.