Selain itu, hak buruh atau pekerja atas informasi mengenai UU Ciptaker juga lenyap, padahal Pasal 28F UUD 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Secara faktual, draf RUU Ciptaker tidak ada di website Kemenkumham (Kompas, diakses pada 29 November 2020).
Ketiadaan partisipasi publik dan keterbukaan informasi juga melanggar jaminan hak atas informasi yang merupakan hak asasi manusia dalam Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya” (hukumonline.com, diakses pada 29 November 2020). Dari segi formil, UU ini juga bertentangan dengan asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sementara itu, dari segi substansi setidaknya UU Ciptaker mengandung beberapa poin yang potensial menimbulkan masalah serius berkaitan dengan hak asasi pekerja atau buruh. Di antaranya yaitu yang Pertama, poin mengenai pengupahan yang adil. UU ini menghapus ketentuan dalam Pasal 91 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang mewajibkan kesepakatan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan menurut peraturan perundang-undangan, dimana apabila kesepatan tersebut melanggarnya, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib membayar upah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Poin kedua yaitu mengenai pemutusan hubungan kerja. Dalam Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) wajib melibatkan dan menempuh prosedur di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) jika perundingan bipartitnya tidak menghasilkan persetujuan, namun dalam Pasal 151 ayat (4) UU Ciptaker, urusan PHK tidak lagi wajib melibatkan PHI. UU Ciptaker juga menghapus Pasal 152 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang mekanisme PHK yang melibatkan PHI.
Dalam sejarah hubungan kelas hampir selalu kaum pengusaha sebagai pemilik modal berada di kelas atas (kapitalis) sedangkan kaum buruh berada di kelas bawah (proletar) dan memiliki posisi yang lemah sehingga buruh dapat di-PHK secara sepihak (Gultom dan Reresi 2020, 10: 38-47). UU ini juga menghapus Pasal 155 UU Ketenagakerjaan sehingga pemutusan sepihak tersebut memperoleh legitimasinya.
Point ketiga yaitu mengenai jam kerja. Pasal 77 ayat (3) jo. Pasal 78 ayat (3) UU ini membuka kemungkinan bagi pengusaha untuk menentukan jam kerja yang melebihi jam kerja yang wajar untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Masih berkaitan dengan hubungan kelas sebelumnya, pengusaha bisa jadi melihat para pekerja layaknya mesin-mesin dengan nilai efektivitas, nilai efisiensi, dan nilai guna tanpa memperhatikan kehidupan yang layak dan perikemanusiaan sehingga bertindak sewenang-wenang (Gultom dan Reresi 2020, 10: 38-47).
PENUTUP
Keinginan Pemerintah untuk mengakselerasi bisnis dan investasi dengan UU Cipta Kerja agaknya kurang tepat. Perbaikan terhadap peraturan ketengakerjaan tidak signifikan mengatasi hambatan investasi karena hanya merupakan faktor ke-13 dari 16 faktor yang ada. Secara formil, pembentukan UU ini tidak partisipatif terhadap kaum buruh, sedangkan secara substansial UU ini berbahaya bagi kelangsungan kaum buruh; terdapat potensi masalah baru serius yang mengancam kaum buruh seperti politik upah murah, PHK massal, pemiskinan struktural, dan perbudakan modern.
Hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia baik yang dijamin dalam Kovenan Internasional maupun UUD 1945. Oleh karena itu, sudah semestinya UU ini ditinjau kembali, salah satunya melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam upaya revisi legislasi selanjutnya, kaum buruh sebagai salah satu subjek utama dalam UU ini perlu dilibatkan dan didengar aspirasinya secara komprehensif sehingga UU yang terbentuk benar-benar mencerminkan keadilan bagi semua kalangan.
DAFTAR PUSTAKA
Gultom, A. F. (2020). Kritik Warga Pada RUU Omnibus Law dalam Paradigma Critical Legal Studies. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 38-47.
Halim, D. (2020, Maret 4). Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dinilai Langgar Hak Asasi Manusia. Diambil kembali dari Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2020/03/04/17490951/omnibus-law-ruu-cipta-kerja-dinilai-langgar-hak-asasi-manusia
Hadya, D. (2019, Oktober 3). Korupsi Penghambat Utama Investasi di Indonesia. Diambil kembali dari katadata.co.id: https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e6183df7/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-indonesia