Proses menagih merupakan tindakan wajar yang dilakukan oleh kreditur dalam perjanjian hutang-piutang. Sebagai suatu hubungan hukum yang memiliki hak dan kewajiban di dalamnya, kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman memang sudah sepatutnya dapat melakukan penagihan yang merupakan haknya. Sebaliknya, debitur selaku pihak yang otomatis telah mengikatkan diri dalam proses transaksi maka sudah berkewajiban untuk membayar tagihan dalam rangka untuk dapat melaksanakan prestasi. Sehingga apabila terjadi hal yang sebaliknya maka hal tersebut dikategorikan sebagai bentuk wanprestasi atau ingkar janji.
Dilansir oleh kompas.com dengan judul berita “Guru TK di Malang Laporkan 19 Aplikasi Pinjaman Online dan 84 telepon Debt Collector yang menerornya”, tersebut membuktikan bahwa masih terjadinya carut marut dalam proses penagihan piutang. Berdasarkan kronologis, korban berinisial S yang merupakan Guru TK di Kota Malang telah mengalami terror dari debt collector aplikasi pinjaman online (fintech).
Sebagai catatan, terdapat 5 aplikasi pinjaman online yang legal dari 24 aplikasi pinjaman online. Total utang yang harus dibayar oleh S berserta dengan bunga berjumlah Rp39.000.000 (akumulasi), namun untuk utang pokok berjumlah Rp26.000.000. Hingga artikel ini ditulis, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Malang telah membantu pelunasan utang pokok yang dimiliki oleh S.
Bila berkaca pada kasus diatas, lantas muncul pertanyaan apakah penagihan yang dilakukan oleh pinjaman online selaku kreditur merupakan perbuatan yang benar atau salah? Apabila ditinjau secara kacamata hukum, maka terdapat aspek perdata dan pidana yang perlu dipahami. Secara definitive, hutang-piutang adalah suatu perbuatan antara satu pihak atau lebih yang mengikatkan diri untuk dapat memberikan pinjaman berupa dana atau modal yang disebut sebagai kreditur, sedangkan pihak lainnya adalah debitur selaku penerima pinjaman modal.
Perjanjian Hutang Piutang Dalam Perspektif Perdata dan Pidana