Virus Corona atau yang biasa disebut dengan COVID-19 telah melanda seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Masifnya penyebaran virus ini dikategorikan sebagai pandemi. Berbagai kebijakan pemerintah telah dilakukan guna mengatasi penyebaran virus yang mematikan ini. Salah satunya dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Berbagai wilayah telah menerapkan PSBB, seperti Jakarta, Makassar dan berbagai wilayah lainnya. Namun, dalam penerapannya, kebijakan PSBB tersebut dianggap masih belum efektif di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya masyarakat yang tidak mengindahkan adanya PSSB. Mereka masih banyak yang berkeliaran, berkumpul dan berpergian.
Hal yang menjadi sorotan adalah sejauh mana PSBB yang diterapkan tidak mampu mengindahkan perilaku masyarakat. Ada apa dibalik kebijakan PSBB? Berbagai pemberitahuan di media yang mengatakan bahwa Selama PSBB, pemerintah melarang masyarakat berkumpul diatas lima orang. Bagi yang melanggar ada ancaman sanksi, penjara atau denda Rp 100 juta. Namun, nyatanya, hal tersebut masih bersifat ancaman dan belum diterapkan.
Jika kita telisik UU No. 6/2018, benar bahwa PSBB adalah salah satu bentuk penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang dijelaskan dalam Pasal 15 UU. PSBB merupakan bentuk kegiatan dari Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk dan di wilayah. Unsur yang harus dibuktikan aparat penegak hukum adalah Mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan Mengahalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Untuk menjerat seseorang dengan ancaman pidana, setiap unsur dalam pasal pidana tersebut harus terpenuhi, dalam Pasal 93 memuat unsur akibat, pelanggaran perbuatan-perbuatan dalam PSBB bisa dipidana apabila menyebabkan kedarurat kesehatan masyarakat. Kebijakan ini dikeluarkan merespon keputusan pemerintah setelah Presiden Joko Widodo telah menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat atas COVID- 19 lewat Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020.
Sejauh ini, belum adanya sanksi pidana yang diterapkan melalui kebijakan PSBB di berbagai wilayah. Ketaatan hukum itu sendiri dapat di bedakan dalam tiga jenis. Mengutip pendapat H.C.Kelman dan L.Pospisil dapat di bedakan ke dalam tiga bagian, yakni: Ketaatan yang bersifat compliance, ketaatan yang bersifat identification, serta ketaatan yang bersifat internalization. Ketaatan hukum yang bersifat compliance dapat diartikan jika seseorang menaati suatu aturan hanya karena takut terkena sanksi. Ketaatan yang bersifat identification dapat diartikan jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak, sedangkan ketaatan yang bersifat internalization dapat diartikan jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa, bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
Melihat dengan berbagai ketaatan yang dilakukan oleh kondisi masyarakat Indonesia masih jauh dari harapan sebab dalam PSBB tersebut belum memberlakukan sanksi pidana sebagaimana ketaatan hukum yang bersifat compliance seseorang menaati suatu aturan hanya karena takut terkena sanksi. Hukuman pada dasarnya adalah perwujudan konkretisasi kekuasaan negara dalam pelaksanaan kewajibannya untuk dapat memaksakan ditaatinya hukum. Lex Dura, Sed Tamen Scripta (sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam, tetapi demikian bunyinya dan harus dilaksanakan).