Apa yang terbesit di dalam otak kita saat mendengar kata perempuan dan anak?
Makhluk yang perlu dilindungi dan disayangi tentunya. Namun, semua ekspektasi tersebut terkadang berbeda dengan apa yang ada di lapangan. Kekerasan seksual yang terjadi dimana–mana kerap melibatkan perempuan dan anak sebagai korban. Korban kekerasan seksual secara fisik terluka dan secara mental pasti tersakiti. Tidak sedikit korban dari kekerasan seksual berujung pada bunuh diri karena merasa dirinya sudah tidak suci sehingga tidak sanggup menanggung beban psikis yang ada. Luka fisik mungkin bisa sembuh dan tidak meninggalkan bekas, tetapi luka mental yang diterima dapat menimbulkan trauma yang mendalam bagi para korban kekerasan seksual.
Bisa dikatakan bahwa Indonesia masih tergolong memiliki angka cukup tinggi dalam hal kekerasan seksual. Keadaan ini perlu perhatian khusus. Kasus Yuyun, misalnya, di mana Yuyun harus mengalami kekerasan seksual berupa pemerkosaan yang dilakukan oleh 13 pemuda dan berakhir dengan kehilangan nyawanya. Hakim memvonis pelaku utama kasus ini dengan hukuman mati dan sisanya dengan hukuman penjara.
Bagaimana hukum bertindak?
Jika dilihat dari segi hukumnya, apa yang mereka lakukan akan dibayar dengan menghabiskan beberapa tahun di penjara dan denda yang telah ditentukan. Akan tetapi bagaimana dengan perasaan keluarga yang telah ditinggalkan? Tentunya mereka tidak menganggap bahwa penjara dan denda dapat membayar atau menggantikan anak mereka yang telah tiada. Mereka akan tetap kehilangan sosok seorang anak perempuan dalam keluarga.
Lalu bagaimana hukum dapat memberikan solusi terbaik terhadap keluarga korban? Tentunya solusi terbaik harus dicari terus oleh para penegak hukum hingga menemukan titik terang. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan dan anak–anak sudah sepantasnya mendapatkan perlindungan yang kuat secara hukum dari pemerintah yang menjamin kenyamanan dan keamanan mereka.
Hukum yang ada sekarang mungkin sudah mampu mengatasi kekerasan seksual yang pernah terjadi, namun alangkah baiknya jika ada hukum khusus yang dibuat mengenai kekerasan seksual sehingga jika dikemudian hari ada kasus yang tidak dapat ditangani dengan hukum yang lama, diharapkan hukum yang mengatur khusus mengenai kekerasan seksual dapat menjerat si pelaku. Salah satu lembaga yang memberikan perhatian besar terhadap masalah kekerasan seksual ini adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
RUU PKS di Indonesia merupakan Kebutuhan
Komnas Perempuan merupakan penggagas Rancangan Undang–Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Lembaga ini menyatakan bahwa Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual sehingga mendesak pemerintah untuk segera meresmikan RUU ini. Jika menjadi pemerintah, apa yang sebaiknya kita lakukan?
Meresmikan rancangan undang–undang tersebut secepat mungkin atau menyetujui sisi kontra pada RUU PKS ini?
Ya benar, RUU PKS menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat dan politikus. Ada yang mendukung ataupun menentang. RUU PKS ini dibuat dengan tujuan untuk memperkuat perlindungan, pencegahan, dan rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual. Jika kita melihat dari sisi logika manusia, tentunya kita menerima rancangan undang-undang tersebut tanpa berpikir panjang. RUU tersebut dirasa membawa dampak positif terhadap kaum perempuan dan anak–anak ke depannya. Namun pada kenyataannya, mengapa ada pihak yang menolak dengan RUU ini?
Apakah ada yang salah dengan meresmikan RUU PKS yang harapannya memberikan perlindungan maksimal kepada kaum wanita dan anak-anak? Atau mereka yang menolak RUU PKS ini adalah salah satu dari pelaku kekerasan seksual? Tentunya, kita tidak bisa main hakim sendiri dalam mengambil kesimpulan tanpa tahu apa yang sebenarnya diperdebatkan dan dipermasalahkan.