- Hubungan kerja yang terjalin merupakan hubungan kerja yang mengikat perusahaan alih daya dengan pekerja secara langsung berdasarkan perjanjian kerja berbentuk tertulis, baik dalam PKWT maupun PKWTT. Padahal norma yang termuat dalam UU Ketenagakerjaan pelaksanaan outsourcingdilakukan melalui perjanjian pemborongan yang dibuat dengan bentuk tertulis.
- Bagi pekerja outsourcing yang diikat dengan PKWT, maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak pekerja apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada. Terkait dengan norma ini, sebelumnya tidak ada dalam UU Ketenagakerjaan.
- Perusahaan alih daya wajib berbentuk badan hukum dan memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Terdapat perubahan terkait instansi yang berwenang untuk memberikan izin berusaha bagi perusahaan alih daya. Pada norma sebelumnya, yakni UU ketenagakerjaan, instansi yang berwenang untuk memberikan izin kepada perusahaan alih daya adalah instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, yang mana setiap Pemerintah Daerah memiliki instansi tersebut. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, terdapat pemusatan kewenangan instansi yang berwenang untuk memberikan izin kepada perusahaan alih daya.
Perjanjian Kerja Outsourcing Setelah UU Cipta Kerja Dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi
Sejak Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta Kerja seakan “dibekukan” hingga 2 (dua) tahun mendatang. Alasan pemberlakuan inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja adalah bertentangan dengan UUD 1945. Status inkonstitusional bersyarat ini diserahkan pada legislator untuk melakukan revisi selama 2 (dua) tahun. Jika legislator tidak berhasil memperbaiki regulasi tersebut, secara otomatis UU Cipta Kerja akan menjadi inkonstitusional permanen.
Dalam amar Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, terdapat frasa “UU No. 11 Tahun 2020 masih tetap berlaku,” sehingga selama dinyatakan inkonstitusional bersyarat, materi muatan UU Cipta Kerja masih tetap dapat diberlakukan. Hal ini juga diperkuat dengan amar putusan poin ke-6, bahwa pasal dan/atau materi yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja, akan diberlakukan kembali jika legislator tidak berhasil melakukan revisi terhadap UU Cipta Kerja. Secara logika terbalik, maka selama dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut, materi muatan UU Cipta Kerja tetap berlaku dan berkekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian, status inkonstitusional bersyarat yang diberlakukan pada UU Cipta Kerja tidak berdampak secara signifikan terhadap norma materiil. Hal tersebut berimplikasi pada norma materiil yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, masih tetap berlaku dan berkekuatan hukum mengikat, sehingga tetap dapat diberlakukan terhadap perjanjian kerja outsourcing.
Kesimpulan
Pengaturan perjanjian kerja outsourcing yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan mengalami beberapa perubahan pasca diundangkannya UU Cipta Kerja seperti penghapusan secara penuh terhadap Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan serta revisi sebagian terhadap Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap beberapa hal, salah satunya segala hal yang berkaitan dengan hak-hak pekerja seperti hak atas perlindungan, upah, persyaratan kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahan alih daya.
Pasca ditetapkannya Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan status inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja, tidak berdampak secara signifikan terhadap norma materiil yang berkaitan dengan ketenagakerjaan yang termuat dalam UU Cipta Kerja, sehingga masih tetap berlaku dan berkekuatan hukum mengikat, serta tetap dapat diberlakukan terhadap perjanjian kerja outsourcing.