Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pemberi kerja yang memuat persyaratan kerja, hak, dan kewajiban para pihak terkait. Di Indonesia, terdapat dua jenis perjanjian kerja yang berlaku, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Setiap hubungan kerja yang terjalin antara pekerja dan pemberi kerja harus didasarkan pada sebuah perjanjian kerja, termasuk perjanjian kerja yang berlaku bagi pekerja alih daya (outsourcing).
Sistem outsourcing merupakan salah satu objek kajian sekaligus problematika yang kerap muncul dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Salah satu faktor yang melatarbelakanginya yaitu rendahnya tingkat pendidikan pekerja outsourcing yang rata-rata lulusan SD/SMP sehingga sistem outsourcing dianggap sebagai sistem yang dapat mengancam hak-hak pekerja. Terlebih, mengingat pekerja memiliki bargaining position yang lemah dibandingkan pemberi kerja.
Pada sisi lain, pengusaha menganggap sistem outsourcing sebagai strategi jitu guna meningkatkan efisiensi biaya produksi di tengah persaingan global yang semakin ketat. Dari kebijakan ini, pengusaha dapat berfokus pada kegiatan yang bernilai ekonomis, sedangkan pekerjaan yang bersifat menunjang dapat diserahkan kepada penyedia jasa tenaga kerja. Perbedaan kepentingan tersebut berdampak pada perselisihan hak dan perselisihan kepentingan dalam hubungan kerja.
Sistem Outsourcing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Keberadaan sistem outsourcing secara tidak langsung telah diakui dalam hukum positif di Indonesia, pada Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan.
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan diksi outsourcing, UU Ketenagakerjaan menggunakan frasa “menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain.” Outsourcing sendiri merupakan istilah yang kerap digunakan dalam dunia industri dan memiliki arti yang kurang lebih sama dengan frasa yang digunakan dalam UU Ketenagakerjaan.
Pasal 64 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa perusahaan diperbolehkan untuk menyerahkan sebagian dari pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui mekanisme perjanjian pemborongan kerja atau penyediaan jasa pekerja. Pasal 64 UU Ketenagakerjaan yang menjadi dasar diperbolehkannya perberlakuan sistem outsourcing. Secara yuridis, perjanjian kerja yang dimaksud harus dibuat secara tertulis dan hanya terdapat dua jenis perjanjian outsourcingyakni perjanjian pemborongan pekerjaan dan perjanjian penyediaan jasa pekerja.
Aturan terkait pemborongan pekerjaan telah termuat dalam Pasal 1601b KUHPer yang berbunyi:
“Pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan tertentu bagi pihak yang lain, yaitu pihak yang memborongkan, dengan menerima harga yang telah ditentukan.”
Akan tetapi, terdapat perbedaan antara perjanjian pemborongan pekerjaan yang termuat dalam Pasal 1601b KUHPer dan Pasal 65 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1601b KUHPer, perjanjian pemborongan berlaku secara general yang maknanya dapat dilakukan antar perseorangan atau perseorangan dengan perusahaan, sehingga terkesan bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak, pemborong hanya memiliki kewajiban, sedangkan yang memborongkan hanya memiliki hak.
Di samping itu, tidak ada frasa yang menegaskan bahwa perjanjian pemborongan harus dilakukan dalam bentuk tertulis. Dalam UU Ketenagakerjaan, pihak yang terlibat dalam perjanjian pemborongan adalah perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penerima kerja dan perjanjian harus dituangkan dalam bentuk tulisan.
Untuk menyikapi kontradiksi norma hukum seperti yang telah dipaparkan, maka berlaku lah asas lex specialis derogate legi generalis, yang bermakna undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum, sehingga norma yang berlaku dalam perjanjian pemborongan adalah UU Ketenagakerjaan.
Menurut Pasal 65 UU Ketenagakerjaan, tidak semua pekerjaan dapat dilaksanakan melalui sistem outsourcing. Pekerjaan yang dapat dilaksanakan melalui mekanisme outsourcing hanya lah pekerjaan yang bersifat penunjang saja, sedangkan pekerjaan yang bersifat pokok tidak diperbolehkan. Dalam penjelasan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa makna dari pekerjaan penunjang ialah pekerjaan yang tidak berhubungan dengan inti bisnis suatu perusahaan.
Sebagai peraturan pelaksana dari UU Ketenagakerjaan sekaligus mempertegas kembali norma yang termuat dalam penjelasan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Permenaker Nomor 19 Tahun 2012) menjelaskan bahwa outsourcing bukan merupakan pekerjaan yang bersifat menunjang dari suatu perusahaan. Permenaker Nomor 19 Tahun 2012 juga menyinggung terkait jenis-jenis pekerjaan yang dapat diterapkan sistem outsourcing, antara lain: