Pendapat Mahkamah Agung tersebut dapat ditemukan dalam Putusan No. 976 K/Pdt/2015, sengketa antara Liem Teddy vs Kodam III/Siliwangi TNI Angkatan Darat) tanggal 27 November 2015. Mahkamah Agung berpendapat: Bahwa dalam menilai keabsahan salah satu dari 2 (dua) bukti hak yang bersifat outentik maka berlaku kaedah bahwa sertifikat hak yang terbit lebih awal adalah yang sah dan berkekuatan hukum.
Pendapat tersebut kembali ditegaskan dalam Putusan No. 290 K/Pdt/2016 tanggal 17 Mei 2016 dan putusan No. 143 PK/Pdt/2016. Mahkamah Agung menyatakan bahwa: Bahwa jika timbul sertifikat hak ganda maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat hak yang terbit terlebih dahulu.
Berdasarkan putusan di atas, untuk menilai sahnya suatu sertifikat tanah ganda yaitu dengan membandingkan tahun terbitnya sertifikat tanah. Langkah ini bertujuan untuk menentukan sertifikat yang terlebih dahulu terbit adalah sertifikat yang sah dan berkekuatan hukum sehingga terdapat kepastian hukum.
Bagaimana apabila para pihak ingin mengambil langkah hukum untuk menyelesaikan kasus sertifikat ganda? Langkah hukum yang dapat diupayakan adalah sebagai berikut:
1. Penyelesaian di Badan Pertanahan Nasional
Dalam perkara sengketa tanah bersertifikat ganda, BPN berkewenangan melakukan negosiasi, mediasi, dan memfasilitasi penanganan pihak-pihak yang bersengketa. Terkait pengaduan masalah sertifikat ganda hak atas tanah, Pasal 1 angka 5 Permen ATR/Kepala BPN No. 21/2020 menyebutkan bahwa pengaduan sengketa dan konflik adalah keberatan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas suatu produk hukum Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya atau merasa dirugikan oleh pihak lain menyangkut penguasaan dan/atau kepemilikan bidang tanah tertentu.