Criminal forfeiture adalah perampasan aset yang dilakukan melalui peradilan pidana sehingga perampasan aset dilakukan bersamaan dengan pembuktian apakah terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana. Administrative forfeiture adalah mekanisme perampasan aset yang mengizinkan negara untuk melakukan perampasan aset tanpa melibatkan lembaga yudisial. Sementara itu, Civil forfeiture adalah perampasan aset yang menempatkan gugatan terhadap aset bukan terhadap pelaku tindak pidana, sehingga aset dapat dirampas meskipun proses peradilan pidana terhadap pelaku belum selesai.
Jika dibandingkan dengan criminal forfeiture, civil forfeiture tidak memerlukan banyak persyaratan sehingga lebih menarik untuk diterapkan dan menguntungkan bagi negara. Model civil forfeiture lebih signifikan untuk diterapkan di Indonesia karena menggunakan pembalikan beban pembuktian dan dapat melakukan penyitaan lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana. Terlebih lagi, dalam civil forfeiture, gugatan dialamatkan pada aset, bukan tersangka atau terdakwa. Konsekuensinya, aset negara tetap dapat diambil meski pelaku meninggal dunia atau belum dapat diproses melalui peradilan pidana.
Indonesia sebagai negara yang meratifikasi UNCAC sampai saat ini belum memiliki regulasi komperehensif mengenai perampasan aset. Dalam praktiknya, mekanisme itu sesungguhnya telah diterapkan pada berbagai perkara pidana, seperti tindak pidana pencucian uang dan narkotika. Namun, khusus dalam perkara tindak pidana korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UUNomor 20 Tahun 2001 dinilai belum cukup optimal menjadi sarana pengembalian kerugian negara melalui jalur perampasan aset secara pidana maupun perdata.