Belakangan ini Indonesia tengah dalam kondisi memprihatinkan atas ragam kejahatan terorganisir. Misalnya, perkara pidana pembunuhan berencana oleh seorang Kadiv Propam Polri terhadap ajudannya dengan memerintahkan ajudan lain untuk mengeksekusinya. Tentu tidak mudah membongkar kejahatan besar dan terorganisir, khususnya membuka dengan terang dalang utama di baliknya. Oleh karenanya, justice collaborator diharapkan berperan membantu membongkar pidana terorganisir.
Justice collaborator untuk mengungkap kejahatan terorganisir telah diterapkan sebelumnya di Indonesia. Misalnya, mengenai penetapan Bharada E sebagai justice collaborator dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir. Pengungkapan kasus pembunuhan cukup sulit, khususnya untuk membongkar siapa saja yang berperan serta di dalamnya, terkhusus kasus yang melibatkan penegak hukum.
Kesulitannya terletak pada pembuktian kejahatan yang dilakukan, terutama ketika menyertakan pihak yang memiliki kekuasaan pada sistem birokrasi. Terkadang, pembuktiannya menimbulkan risiko terhadap mereka yang di dalamnya.
Atas hal tersebut, diperlukan sikap kompeten atau profesional serta perlindungan kepada penegak hukum serta pihak yang turut serta saat berjalannya pengungkapan kasus pembunuhan agar memudahkan dalam pengungkapan. Salah satu usaha mengatasi permasalahan terhadap tindak pidana pembunuhan dengan diterbitkannya SEMA No. 4 Tahun 2011.
Status justice collaborator diberikan jika eksekutor berkenan bekerja sama bersama dengan penegak hukum guna mengungkapkan perkara. Konsep dasar dari penerapan pelaku justice collaborator adalah kerja sama pelaku kejahatan yang bukan pelaku utama dengan penegak hukum untuk meringkus pelaku utama, sehingga dapat membongkar tindak pidana yang terorganisir.
Apabila tidak ada kerja sama dengan pelaku terkait, kasus itu sulit dapat terpecahkan dengan cepat dan terang. Diperlukan ketelitian untuk menetapkan pelaku sebagai justice collaborator. Hal ini mengingat bahwa perkenan permintaan menjadi justice collaborator berdampak hukum terhadap keringanan hukuman pelaku.
Justice collaborator menjadi tren digunakan terutama dalam mengungkap kejahatan besar di Indonesia. Justice collaborator memegang peran penting terutama membantu penegak hukum seperti penyidik dan penuntut umum, dari proses penyelidikan, penyidikan sampai pemeriksaan persidangan. Saksi berperan amat penting sehingga sering kali sebagai alasan penentu ketika mengungkap kasus tersebut.
Jarang ditemui, saat tahap pembuktian perkara pidana tanpa alat bukti berupa keterangan saksi. Sebab, keterangannya dianggap bukti-bukti yang prinsipil pada proses pembuktian. Ketentuan alat bukti ini diatur pada Pasal 184 KUHAP, yang menerangkan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Parameter utama legislasi di Indonesia secara umum yang mengatur mengenai saksi, termasuk hak dan perlindungannya. Sampai sekarang ini hukum yang berlaku berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan-peraturan lain di bawahnya. KUHAP menjadi payung dari seluruh hukum acara pidana di Indonesia yang pertama kali mengatur tentang saksi dan hak-haknya yang akan diperoleh oleh saksi.
Definisi saksi dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP, yaitu seseorang yang bisa memberikan suatu keterangan guna kepentingan proses penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diambil beberapa kesimpulan yang merupakan syarat-syarat dari saksi, di antaranya:
- Orang yang melihat atau menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu tindak pidana.
- Orang yang mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
- Orang yang mengalami sendiri dan atau orang yang langsung menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana.
Saat memberikan kesaksiannya di muka persidangan, saksi dapat secara langsung memberikan kesaksiannya pada saat persidangan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.
Selain dalam KUHAP, perlindungan dan bantuan hukum terhadap saksi maupun korban juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan terhadap saksi maupun korban tersebut adalah upaya untuk memberikan tempat berlindung bagi seseorang yang membutuhkan sehingga akan merasa aman dari segala bentuk ancaman sekitarnya.
Menurut Pasal 5 UU 31/2014 menentukan saksi dan korban memiliki hak sebagai berikut:
- memperoleh perlindungan atas keamanan pribadinya, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari segala bentuk ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
- ikut serta dalam proses memilih dan menentukan suatu bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
- memberikan suatu keterangan tanpa ada unsur tekanan dan paksaan;
- mendapatkan penerjemah;
- bebas dari segala bentuk pertanyaan yang menjerat;
- mendapatkan seluruh informasi mengenai perkembangan kasus;
- mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
- mendapatkan informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
- dirahasiakan identitas pribadinya;
- mendapatkan identitas baru;
- mendapatkan tempat tinggal sementara;
- mendapatkan tempat tinggal baru;
- memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
- mendapatkan nasihat hukum, memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir;
- mendapatkan pendampingan.
Kesemua hak-hak yang ada dalam UU 31/2014 oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada saksi dan korban. LPSK yang merupakan suatu lembaga yang ditunjuk untuk memberikan suatu perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dalam implementasinya.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.