Sebelum jauh membahas wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang tengah menjadi perdebatan publik, perlu memahami prinsip konstitusionalisme. Secara sederhana, konstitusionalisme merupakan pemerintahan demokrasi dengan pembatasan untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif.
Signifikansi pembatasan kekuasaan bukan semata-mata berlaku pada negara yang menganut paham hukum namun juga negara yang memberlakukan paham kedaulatan rakyat atau demokrasi. Pencetus paham konstitusionalisme, John Locke, memberi pandangan bahwa pembatasan kekuasaan diperlukan dalam tatanan pemerintahan untuk menghindari kesewenangan penguasa yang semestinya tidak merenggut hak-hak sipil.
Pembatasan kekuasaan dapat diaktualisasi melalui pemilihan umum yang selanjutnya menghasilkan rotasi kepemimpinan berkelanjutan serta. Implikasinya, proses ini tidak memuarakan rezim pemerintahan yang tersentralisasi terlalu lama.
Robert A Dahl menjelaskan bahwa di dalam sistem politik yang demokratis, kontrol terhadap jalannya pemerintahan tidak bisa diabaikan. Pemerintah harus dipilih secara teratur melalui mekanisme pemilihan umum yang melibatkan suara masyarakat.
[rml_read_more]
Perspektif Konstitusionalisme dan Konteks Demokrasi
Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sendiri tentu berangkat dari opini masyarakat dan kalangan partai politik pengusul. Dalam situasi ini posisi negara tidak boleh menghalangi segala bentuk kebebasan berpikir warga negara.
Menyatakan pendapat adalah bagian dari hak asasi manusia. Kemerdekaan dalam menyatakan pendapat menjadi dasar kehidupan masyarakat yang demokratis. Namun, dalam konteks isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menyatakan pendapat lebih sensitif lagi ditekankan dan dipikir ulang berdasarkan etika menyampaikan pendapat.
Kehidupan berdemokrasi memberi kebebasan berpendapat namun penilaian etika juga menjadi perhatian khusus. Benito Asdhie Kodiyat dalam buku berjudul, “Etika dalam Menyampaikan Pendapat di Media Sosial dalam Perspektif Hak Konstitusional Warga Negara” menjabarkan salah satu etika komunikasi berpendapat yang penting adalah kebebasan disertai tanggung jawab. Pasal 23(2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menekankan kebebasan berpendapat yang harus memperhatikan ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.
Melihat konteks demikian, mewacanakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dapat dikatakan kebebasan pendapat yang tidak dalam batasan etika hukum. Meskipun pendapat yang mendukung penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden akan merusak demokrasi karena memicu terganggunya ketertiban dan keutuhan negara. Kebebasan pendapat yang menjadi konsentrasi telah membawa kegaduhan publik, mencederai konstitusi dan menjadi perbuatan melawan hukum.
Merebaknya wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang diyakini dapat dilakukan dengan amandemen UUD 1945 sangat memungkinkan memicu kegaduhan, baik secara politik maupun sosial di masyarakat. Secara nalar, banyak masyarakat yang kurang setuju dengan isu penundaan pemilu. Apabila mengamandemen UUD 1945 tanpa persetujuan rakyat, tindakan ini akan mengurangi legitimasi UU dan mengakibatkan kegaduhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, legitimasi yang lemah akan merepresentasi negara yang darurat (state of emergency). Presiden dan Wakil Presiden akan mengalami krisis konstitusional. Tatanan pemerintahan mulai dari perintah dan segala kebijakan yang diambil rawan akan gugatan masyarakat karena legitimasi kekuasaan yang lemah.
Menilai penundaan pemilu tanpa alasan konstitusional yang jelas selain mengakibatkan kegaduhan juga akan mengakibatkan kekosongan kekuasaan setelahnya. Hal demikian tidak pernah diatur dalam konstitusi, sebagaimana Pasal 8 (2) dan (3) UUD 1945 yang secara eksplisit hanya mengatur kekosongan jabatan jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya.
Sesuai ketentuan, yang melakukan tugas kepresidenan dialihkan kepada Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama (Rusdianto, 2024). Lalu ditekankan kembali dalam UU tersebut bahwa dalam waktu 30 hari MPR harus melaksanakan sidang dalam rangka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang baru menggantikan yang lama.
Persoalan lain timbul jika ditinjau dari perspektif kedaulatan rakyat. Demokrasi tercederai oleh Pasal 8(3) karena MPR sebagai lembaga yang memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru bukan melalui mekanisme pemilihan umum oleh warga negara.
Lebih lanjut, ketika Presiden dan Wakil Presiden mengalami kekosongan jabatan secara otomatis kabinet kerja, termasuk semua kementerian yang dijalankan dianggap berakhir dan keadaan demikian sama sekali belum diatur di dalam konstitusi Indonesia. Kekosongan hukum yang mengatur hal ini jangan sampai mengakibatkan kudeta konstitusional atau yang dapat dikatakan pengambilalihan pemerintah oleh militer dan dipimpin oleh pemimpin militer aktif. Kondisi ini dapat mengganggu keutuhan NKRI dan kegaduhan di seluruh negeri.
Menimbang Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dari Aspek Hukum
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden sendiri dapat dilakukan dengan pertimbangan dua jalur yaitu berdasarkan jalur konstitusional dan melalui jalur inkonstitusional (Ayon, 2022). Pertama, jalan melalui konstitusional artinya berdasarkan landasan hukum yang telah ditetapkan.
Melihat konteks tatanan hukum di Indonesia, jalur konstitusional tidak ada secara eksplisit menjelaskan pengaturan perpanjanhan masa jabatan presiden. Konstitusi yang ada hanya menjabarkan bahwa presiden hanya boleh menjabat dua periode dengan satu periode masa jabatan dihitung lima tahun. Secara gamblang tidak mungkin akan terwujudnya perpanjangan masa jabatan presiden.
Ada spekulasi bahwa alasan konstitusionalitas karena menyangkut wabah pandemi COVID-19 sebagai keadaan darurat. Tidak ada kekhususan dalam perundang-undangan yang menyebutkan bahwa adanya wabah dapat menegaskan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Benang merahnya adalah posisi hukum jelas tidak memberi ruang bagi wacana perpanjangan masa jabatan presiden.
Pelanggaran konstitusi dapat dimungkinkan dengan syarat negara dalam keadaan sangat darurat dengan ketentuan khusus untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat. Hal demikian dapat diparameterkan dari dampak tindakan pelanggaran konstitusi sepenuhnya untuk kepentingan bersama. Indikator pelanggaran konstitusi dapat dilakukan dengan tetap adanya pembatasan kekuasaan dan penghormatan hak asasi manusia sebagai pilar penting dalam konstitusionalisme. Maka, sejauh ini, penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak bisa dilakukan dengan alasan apapun.
Pengaturan periode masa jabatan presiden adalah bentuk dari upaya menegakkan prinsip konstitusionalisme. Peraturan tersebut bukan sekedar untuk membatasi kekuasaan, namun juga melanggengkan semangat yang digaungkan saat Reformasi 1998. Reformasi berisi keinginan bersama membangun sistem kekuasaan presiden yang tidak terlalu dominan dan cenderung abuse of power.