Apa itu sertifikat tanah?
Sertifikat tanah terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur. Sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat. Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa sertifikat tanah merupakan suatu tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak. Maksudnya bahwa walaupun kepemilikan seseorang telah dibuktikan dengan sertifikat tanah, namun tidak menutup kemungkinan terhadap adanya gugatan dari pihak lain yang merasa haknya dilanggar terhadap terbitnya sertifikat hak atas tanah. Sertifikat tanah menjadi bukti kepemilikan atau penguasaan seseorang atas tanah. Pasal 4 ayat (1) UUPA menjamin hak dari setiap pemegang hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat. Fungsi utama dari sertifikat tanah tertuang dalam Pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA, yang menyatakan bukti kepemilikan hak atas tanah berlaku sebagai alat pembuktian yang sah dan kuat.
Sertifikat tanah merupakan tanda bukti yang berlaku sebagi alat pembuktian yang sah dan kuat sepanjang data di dalam sertifikat itu sesuai dengan data yang terdapat didalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Proses jual beli hak atas tanah yang telah didaftarkan atau telah bersertifikat memiliki risiko hukum yang rendah, karena hak kepemilikan dan subyek hukum penjual telah jelas dan terang. Sebaliknya bagi tanah yang belum didaftarkan hak kepemilikannya atau tidak ada sertifkatnya, memiliki risiko hukum dan kerawanan yang lebih tinggi.
Akta tanah PPAT berfungsi sebagai alat bukti telah terjadinya jual beli tanah. Jual beli tanah tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran jual beli tanah itu hanya dapat/boleh dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya.