Konsepsi baru dalam Pasal 31 terutama ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 2018 mengenai kewenangan intersepsi / penyadapan kepada penyidik. Kewenangan tersebut terdapat dalam aspek (a) penegakan hukum dengan menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindak pidana terorisme; (b) fungsi intelejen untuk memantau keberadaan pelaku yang diduga terlibat dan/atau melakukan pengembangan terhadap jaringan terorisme. Perspektif HAM menganggap penyadapan sebagai perbuatan yang dilarang karena melanggar kebebasan pribadi, baik dalam hukum internasional atau hukum domestik. Penyadapan dalam pengaturan UU No. 5 Tahun 2018, rawan akan terjadinya pelanggaran HAM.
Indikasi ini tercermin dari faktor pertama, jangka waktu pengaturan penyadapan yang berlangsung selama 2 tahun, memungkinkan terjadinya perekaman data-data pribadi yang tidak terkait dengan perkara yang diadukan. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 31 ayat (3) yang mengungkapkan bahwa untuk jangka waktu paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Kiranya dengan dukungan kewenangan, fasilitas sarana prasarana, anggaran, serta sumber daya manusia yang kompeten, dan jaringan internasional, akan memudahkan jalannya tugas kepolisian dalam pengungkapan tindak pidana terorisme.
Dengan alasan tersebut, tidak diperlukannya jangka waktu yang panjang dalam instrumen penyadapan, secara umum permasalahan ini dapat dianggap mengganggu iklim demokratis yang bercirikan kebebasan warga negara dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi. Kedua, pengaturan pemberian kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan diatur dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b, tetapi mekanisme perizinan, pelaksanaan, penggunaan hasil, pertanggungjawaban, pengawasan, dan pengaturan mengenai upaya pemulihan hak-hak korban belum diatur lebih lanjut dalam UU No. 5 Tahun 2018.
Melihat muatan materi di berbagai pasal dalam UU No. 5 Tahun 2018 belum sepenuhnya selaras dengan asas dan norma HAM yang berakibat pada potensi atau ancaman pelanggaran HAM, khususnya berkaitan dengan persoalan penangkapan, penahanan, dan penyadapan. Melalui permasalahan tersebut, beberapa alternatif yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR adalah melakukan evaluasi dan mempertimbangkan revisi terbatas terhadap beberapa rumusan pasal dalam UU No. 5 Tahun 2018 yang dinilai berpotensi terhadap pelanggaran HAM, serta secara efektif melakukan pengawasan terhadap apparat penegak hukum agara mematuhi asas dan norma HAM dalam penanganan tindak pidana terorisme untuk menghindari tindakan kekerasan.