Khusus berkaitan dengan asas kemanusiaan, berdasarkan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan asas kemanusiaan yakni bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Ketentuan tersebut merupakan amanat Pasal 28 I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan jelas bahwa dalam struktur ketatanegaraan dan kebijakan legislasi asas dan norma HAM ditetapkan menjadi pedoman / landasan utama yang menjiwai pembentukan produk perundang-undangan.
Salah satu problematika UU No. 5 Tahun 2018 mengenai persoalan pengaturan penangkapan dan penahanan, terutama dalam penerapan Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang memberikan peraturan penangkapan dan penempatan di suatu tempat dengan jangka waktu 21 hari kepada kepolisian. Bagi orang yang masih diduga / terduga dalam konsep hukum pidana belum berstatus tersangka dapat ditahan tanpa diberitahukan keberadaannya kepada keluarga atau penasihat hukumnya.
Rumusan norma tersebut dalam perspektif HAM menimbulkan kerawanan terjadinya pelanggaran HAM serta telah mengabaikan norma utama dalam berbagai instrumen HAM. Instrumen HAM telah merumuskan norma pelarangan tindakan secara sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan, penahanan dan tindakan merampas kemerdekaan (Pasal 28G ayat (1) UUDN RI Tahun 1945, Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 9 DUHAM 1948, dan Pasal 9 ayat (1) ICCPR).
Serta jaminan untuk tidak diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat kemanusiaan (Pasal 28G ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUDN RI Tahun 1945, Pasal 4 dan Pasal 33 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 5 DUHAM, Pasal 7 ICCPR). Analisis mengenai tindakan penangakapan dan penahanan selama 21 hari di suatu tempat tanpa pengetahuan keluarga dan penasihat hukum tidak selaras dengan ketentuan KUHAP Pasal 19 ayat (1) yakni paling lama 1×24 jam dengan penerbitan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan.
Idealnya terlintas dari jenis tindak pidana yang dituduhkan kepada pelaku, termasuk dalam hal tindak pidana terorisme, tidak dibenarkan melakukan penangkapan dan penahanan tanpa dasar hukum yang jelas. Selain itu, penting untuk menginformasikan keberadaan terduga kepada keluarga dan atau penasihat hukum, untuk segera diperiksa di sidang pengadilan dalam waktu yang semestinya atau dibebaskan. Kewajaran akan munculnya kekhawatiran mengenai bahasan diatas mungkin terjadi. Menurut perspektif HAM, rumusan dalam UU tersebut berpotensi disalahgunakan dan menjadi awal dari tindakan kekerasan.