Pengadaan tanah dan ganti rugi oleh perusahaan pertambangan menjadi permasalahan yang menarik. Namun, sebelum pembahasan itu dimulai diperlukan beberapa telaah terlebih dahulu.
Berdasarkan kebijakan nasional yang menggunakan standar aksesi atau lampiran, bangunan dan instalasi pada properti merupakan bagian integral dengan properti dan merupakan bagian dari properti yang bersangkutan. Tanah merupakan benda yang bernilai ekonomi, mempunyai hubungan hukum, mempunyai fungsi sosial bagi kehidupan manusia, untuk kepentingan umum. Karena itu, hak atas tanah adalah hak dua dimensi yang dibatasi panjang dan lebarnya pada bagian tertentu dari permukaan bumi, badan bumi dan air serta ruang di sekitarnya.
Secara historis, reforma agraria di Indonesia telah dikenal sejak 1960, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. UU ini merupakan sebuah tonggak penting dalam upaya Indonesia menuju keadilan Agraria (Murhaini 2021).
Menurut Boedi Harsono, pengadaan tanah adalah perbuatan hukum berupa melepaskan hubungan hukum yang semula ada antara pemegang hak dan tanahnya yang diperlukan dengan pemberian imbalan dalam bentuk uang, fasilitas atau lainnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat antara empunya tanah dan pihak yang memerlukan (Harsono 2009).
Namun demikian, perubahan masyarakat akibat perubahan penggunaan lahan tidak lepas dari peruntukan tanah sebagai barang publik. Tanah, selain merupakan aset penting bagi masyarakat lokal, juga menjadi bagian integral dari sumber daya alam. Lebih khusus, telah terjadi pergeseran bahwa tanah dapat digunakan untuk bisnis pertambangan. Ini mengindiksikan bahwa pemanfaatan tanah tidak lagi hanya untuk tujuan sosial.
Ganti Rugi Perusahaan kepada Pemilik Lahan
Pentingnya pemberian ganti rugi dalam proses pengadaan tanah ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2012. Pasal ini menentukan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Proses ganti kerugian dalam aturan pengadaan tanah berada pada tingkatan pelaksanaan setelah tahapan perencanaan dan persiapan selesai dilaksanakan.
Gubernur bersama instansi yang membutuhkan tanah mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Hal ini berdasarkan penetapan lokasi yang sudah ditetapkan, sedangkan instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada lembaga pertanahan.
Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut meliputi:
- Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
- Penilaian ganti kerugian;
- Musyawarah penetapan ganti kerugian;
- Pemberian ganti kerugian; dan
- Pelepasan tanah Instansi.
Demi kepastian hukum kepada seluruh pemilik tanah, pemerintah memberikan fasilitas berupa pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah adalah perolehan suatu bukti yang sah dan kuat dari akta pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dapat juga diartikan sebagai perintah atau pengalihan yang harus ditegakkan secara administratif dengan alasan untuk menjamin kepastian hukum (Kurniawati 2020). Dengan kata lain, untuk menjamin kepastian hukum, dilakukan pendaftaran tanah diseluruh wilayah republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi:
- Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah;
- Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak hak; dan
- Pembertian surat bukti hak sebagai alat pembuktian yang sempurna.
Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan pertimbangan Kementerian ATR/BPN. Terkait ganti rugi, perlu memperhatikan hukum bahwa ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah diperoleh hasil keputusan final musyawarah. Selain itu, juga bidang tanah, bangunan serta tanaman yang dihitung berdasarkan tolok ukur yang disepakati.
Pasal 13 Peraturan Menteri Nomor 65/06 mengatur wujud ganti rugi. Wujud tersebut antara lain uang dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman kembali, gabungan atau bentuk lain yang disepakati para pihak. Sementara itu, Pasal 5 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 menegaskan bahwa ganti kerugian itu harus ditaksir secara obyektif dengan tidak merugikan kedua belah pihak dan menggunakan norma-norma yang berlaku di tempat itu.
Menurut penjelasan umum UU Nomor 20 Tahun 1961, penetapan besarnya ganti rugi didasarkan pada nilai riil atau nilai yang sebenarnya, yang tidak harus sama dengan harga yang berlaku, melainkan harga yang lebih murah.
Ganti rugi atas barang-barang perolehan barang harus dibayarkan langsung kepada pemegang hak. Ganti rugi diberikan kepada pihak yang berhak berdasarkan hasil penilaian dalam musyawarah dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung. Pada saat pemberian ganti rugi, pihak yang berhak menerimanya wajib melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan.