Pembatasan Sosial Bersekala Besar, yakni khususnya yang terkait dengan pembatasan berkumpul, haruslah mengacu pada aturan perundang-undangan, hal ini jelas bahwa penerapan PSBB suatu wilayah haruslah berdasarkan penetapan dari Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan dari Kepala Daerah, sehingga tidak serta merta dengan dalil PSBB yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, dijadikan alat dan tafsir serampangan oleh aparat keamanan untuk melakukan tindakan pembubaran.
PSBB yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, aparat keamanan dengan tindakan yang sewenang-wenang melakukan aksi-aksi pembubaran, hal ini bertentangan dengan jaminan hak kebebasan berkumpul, dimana hak kebebasan berkumpul dijamin oleh undang-undang dan dapat dibatasi sesuai dengan standar hukum dan HAM.
Pemerintah seharusnya konsisten dalam mengadopsi ketentuan ICCPR (Pasal 15 ICCPR) tidak hanya secara legalistik dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipol, namun juga dalam praktik aparat dalam pekerjaannya sehari-hari. Dan dalam hal ini internal Kepolisian juga telah memiliki berbagai peraturan yang mewajibkan Kepolisian untuk menjunjung hak asasi manusia dan taat pada asas-asas fair trial. (UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (atau lebih sering disebut sebagai KUHAP).
Hak untuk mendapatkan proses hukum pidana yang adil berdasarkan hukum yang berlaku juga berpotensi untuk kembali dilanggar dengan wacana persiapan TNI untuk antisipasi gejolak sosial akibat Pandemi COVID-19. (ttps://nasional.kompas.com/read/2020/04/29/06260681) Pemerintah seharusnya memprioritaskan upaya pencegahan agar tidak terjadi gejolak sosial di masyarakat melalui jaminan kebutuhan dasar masyarakat di daerah yang terjangkit COVID-19.
Hak Atas Kebebasan Berekspresi
Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pada saat penanganan CPVID-19, setelah keluarnya Surat Telegram Kapolri (ST/1100/IV/HUK.7.1.2020), tercatat 41 kasus penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh menyampaikan penghinaan terhadap pejabat negara atau menyebarkan berita bohong.
Hal tersebut menjadi pelanggaran HAM jika dilakukan dalam konteks mengkritik, mempertanyakan dan menyampaikan keluhan mengenai cara-cara pemerintah dalam menangani pandemi. Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan aspek krusial yang aplikasinya harus dilindungi oleh Negara. Hal ini selaras dengan pasal 19 Kovenan Hak Sipol sebagaimana telah diadopsi substansinya dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan turunannya dalam 23 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.