Akan tetapi, perjanjian dapat dilakukan pemutusan kontrak secara sepihak yang sejalan dengan sifat dari perjanjian, mengikat bagi para pihak sebagaimana Pasal 1338 KUHPerdata.
Pasal 1338 KUHPerdata juga mengatur tentang kebebasan kontrak (freedom of contract) dengan ruang lingkup meliputi:[3]
- Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
- Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
- Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian (kontrak) yang akan dibuatnya;
- Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
- Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; dan
- Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional.
Sekalipun kebebasan kontrak telah dijamin dalam KUHPerdata, terdapat kekurangan dalam praktik yaitu ketidakseimbangan ‘kekuatan’ antara para pihak yang terlibat perjanjian.
Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Sutan Remy S. Dalam buku Hukum Kepailitan, ia menjelaskan bahwa tujuan asas kebebasan kontrak hanya akan tercapai apabila kedua pihak memiliki bargaining power yang setara. Sehingga, pihak yang lebih kuat tidak memaksakan kehendak pada pihak lain dalam perjanjian.
Kemudian, yang menjadi pertanyaan apakah pemutusan kontrak secara sepihak terkualifikasi sebagai PMH atau wanprestasi? Apabila melihat pengertian PMH, ketika terdapat pihak lain yang dirugikan dan pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi. Tetapi hal ini bukan dalam lapangan perjanjian.[4]
Lalu, wanprestasi yang berasal dari kata wanprestatie berarti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian. KUHPerdata tidak menjelaskan secara eksplisit definisi wanprestasi. Tetapi, mengacu Pasal 1243 KUHPerdata telah diatur perihal wanprestasi yang berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan bila debitur walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”[5]
Kasus pemutusan kontrak secara sepihak dapat dilihat pada Putusan No. 2478 K/Pdt/2014. Putusan ini dalam perkara pemutusan perjanjian kerja secara sepihak oleh Henry Hock dan Patrick Morris A. (tergugat) terhadap Beny Novrian (penggugat).
Pada tingkat kasasi diputuskan bahwa putusan judex facti yang memutus bahwa pemutusan perjanjian kerja secara sepihak oleh pihak tergugat bukan merupakan PMH karena pengakhiran secara sepihak oleh tergugat tidak bertentangan dengan kaidah perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
Selanjutnya, bagaimana pengaturan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak? Dalam praktiknya, alasan pemutusan perjanjian atau kontrak secara sepihak dalam perjanjian seringkali dilakukan dengan dasar adanya wanprestasi seperti penyelesaian pekerjaan yang tidak sesuai dengan jangka waktu, dan penyelesaian hasil bangunan yang tidak sesuai dari yang diperjanjikan[6].
Hal ini sejalan dengan Putusan MA No. 1051 K/Pdt/2014 yang dalam pertimbangan putusannya menjelaskan:
“Bahwa pembatalan Surat Perjanjian Kerjasama tersebut secara sepihak oleh Tergugat sebagaimana dimaksud tidak berdasarkan pada kesepakatan antara Penggugat dengan Tergugat, hal ini jelas Tergugat telah melanggar Pasal 1338 KUHPerdata jo. Pasal 1339 KUHPerdata, dan oleh karenanya patut dinyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Untuk itu, berkenan kiranya Pengadilan Negeri Bekasi menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.”[7]
Putusan Peninjauan Kembali No. 580/PK/Pdt/2015 memperkuatnya, yang mana MA berpendapat: