Selain pengucilan, dampak dari pandemi juga dirasakan oleh pekerja yang harus keluar lapangan. Di kota-kota besar, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan penurunan drastis aktivitas di luar rumah. Konsekuensinya, para pekerja baik sektor formal maupun informal, swasta, hingga buruh harian terancam pemotongan gaji, penolakan cuti, dirumahkan, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selain itu, bisnis rumahan dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga berisiko mengalami penurunan omset, kerugian, hingga kehilangan bisnisnya.
Beberapa kemungkinan risiko tersebut diambil bukan lain juga karena menurunnya permintaan konsumen. Mereka harus mematuhi protokol kesehatan dengan menjaga jarak. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi alasan bagi perusahaan yang memilih untuk memotong cuti bagi pekerja yang tidak masuk sebagai salah satu cara pengendalian COVID-19.
Seharusnya, Pemerintah memastikan perusahaan agar tetap membayarkan upah pekerja, sesuai dengan ketentuan yang tertulis pada Paragraf 41 Komentar Umum No. 23 tahun 2016 mengenai Hak Atas Pekerjaan. Selain itu, Pekerja yang mengalami pengurangan pemasukan akibat penyakit juga berhak mengakses manfaat (tunai dan non-tunai), yang setidaknya mencakup pelayanan kesehatan, air dan sanitasi, serta makanan sesuai paragraf 2 dan paragraf 59 Komentar Umum No. 19 tahun 2007 mengenai Hak atas Jaminan Sosial.
Berbagai upaya yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Usaha-usaha ini masih belum secara cepat dapat memulihkan keadaan seperti keadaan semula. Setidaknya usaha yang telah dilakukan harusnya memberi dampak baik dan menguntungkan bagi masyarakat yang sedang jatuh di masa pandemi ini.