Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut termaktub dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsekuensi daripada negara hukum, segala bentuk aktivitas di negara Indonesia diperlukan hukum yang mengatur masyarakat dan negara. Perkembangan masyarakat dan negara salah satunya di era pascareformasi, negara Indonesia menerapkan sistem desentralisasi. Sistem tersebut berdampak kepada pemerintahan daerah untuk mengembangkan daerah-daerahnya.
Untuk mewujudkan tujuan filosofis mengenai desa di Indonesia, desa diberikan adanya kewenangan lokal untuk mengatur rumah tangganya. Undang-undang ini memberikan suatu perubahan yang sangat signifikan dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, dimana desa hanya sebagai “suatu sub sistem” pemerintahan tanpa kewenangan pengelolaan keuangan secara mandiri.
Perubahan tersebut merupakan amanat daripada reformasi yaitu desentralisasi hingga ke daerah-daerah termasuk desa. Tujuan kebijakan desentralisasi yang tersirat dalam undang-undang tersebut adalah: mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak desa; peningkatan pendapatan asli desa dan pengurangan subsidi dari pusat; mendorong pembangunan desa sesuai dengan aspirasi masing-masing desa.
Alokasi Dana Desa di Indonesia: Tantangan dan Problematika
Wujud daripada pengelolaan desa adalah dengan memberikan pengalokasian dana yang bertujuan untuk membangun desa, lebih dikenal dengan Dana Desa. Kebijakan tersebut secara normatif diatur dalam Pasal 72 butir 1 huruf d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, yang menyatakan alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota.
Dana Desa sendiri merupakan salah satu dari pendapatan keuangan desa yang merupakan semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Pengalokasian dana Desa yang pertama kali dimulai pada tahun 2015 melalui APBN tahun anggaran 2015 dengan anggaran Rp. 20,766,2 Triliun sehingga rata-rata per-desa memperoleh Rp. 280,3 juta untuk 74.754 desa se-Indonesia.
Perwujudan tujuan dana desa tidak tercapai dengan mudah, terdapat problematika terhadap pengelolaan dana desa, yaitu korupsi dana desa. Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2015 hingga Semester I 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.10 Tercatat sedikitnya sudah ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar, Tahun 2015 dengan 17 kasus, tahun 2016 dengan 41 kasus, tahun 2017 dengan 96 kasus, tahun 2018 semester I dengan 27 kasus.
Dengan pelaku nya merupakan kepala desa dengan total 141 orang kepala desa yang melakukan korupsi, 41 orang perangkat desa dan 2 orang yang berstatus istri kepala desa. Dari urutan pelaku korupsi terbanyak, ICW mendata 1.053 perkara tindak pidana korupsi dengan 1.162 terdakwa. Perangkat desa, menempati posisi tiga profesi paling banyak melakukan korupsi.
Mengurai problematika korupsi, dimulai dari pejabat-pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengelola dana desa. Menurut data, pejabat baik di pemerintahan pusat ataupun daerah merupakan yang paling bertanggungjawab atas banyaknya kasus korupsi. Menurut data ICW Peringkat pertama ditempati oleh pejabat pemerintah provinsi/kota/kabupaten dengan 319 terdakwa atau 27,48% dan peringkat ketiga ditempati perangkat desa dengan 158 terdakwa atau 13,61 %. Perangkat desa disini terbagi menjadi tiga yaitu kepala desa, bendahara desa, sekretaris desa.
Dari pelaku korupsi yang mayoritas merupakan pejabat, tentunya terdapat pola-pola kejahatan korupsi yang dilakukan. Dalam kasus korupsi dana desa, pola yang dilakukan adalah permainan anggaran pada proses perancanaan dana desa dan pencairan dana desa. Permainan anggaran ini dilakukan diberbagai tingkat instansi yaitu tingkat kecamatan dikarenakan camat memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes) dan potensi pemotongan atau menaikkan anggaran tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi korupsi dana desa terjadi disebabkan minimnya kompetensi aparat pemerintahan desa, dantidak adanya transparansi, dan pengawasan. Didukung juga dengan penelitian lapangan mengenai pengelolaan keuangan desa di Desa Bagan Nibung Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, hasilnya adalah Terdapat juga faktor-faktor yang menjadi pendukung serta penghambat dalam proses pengelolaan keuangan ini. Faktor-faktor tersebut antara lain kompetensi dan kualitas SDM, partisipasi masyarakat dan pengawasan oleh Badan Pengawas Desa (BPD).
Keuangan desa termasuk didalamnya terdapat dana desa, wajib dilaporkan dan dipertanggungjawabkan. Berdasarkan proses aspek pelaporan dan pertanggungjawaban merupakan tahap akhir. Secara normatif, menurut Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa.
Pelaporan sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan hasil pekerjaan yang telah dilakukan selama satu periode tertentu sebagai bentuk pelaksanaan pertanggungjawaban atas tugas dan wewenang yang diberikan.
Pada tahap pelaporan, pemerintah Desa menyusun laporan realisasi pelaksanaan APBDesa setiap semester yang disampaikan kepada Bupati/walikota. Tahapan kegiatan yang harus Kepala Desa laksanakan yaitu menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota berupa laporan semester pertama, dan laporan semester akhir tahun. Laporan semester pertama berupa laporan realisasi APBDes. Laporan realisasi pelaksanaan APBDes disampaikan paling lambat pada akhir bulan Juli tahun berjalan. Laporan semester akhir tahun disampaikan paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya.
Pertanggungjawaban pengelolaan keuangan desa dilakukan setiap akhir tahun anggaran yang disampaikan kepada Bupati/Walikota dan di dalam Forum Musyawarah Desa. Adapun laporan tersebut berupa laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa, Peraturan Desa, laporan Kekayaan Milik Desa, serta Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masuk ke desa.
Kepala Desa wajib menyertakan format Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa Tahun Anggaran berkenaan didalam laporannya, kemudian format Laporan Kekayaan Milik Desa per 31 Desember Tahun Anggaran berkenaan serta format Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masuk ke desa.
Adapun laporan menurut Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah sebagai berikut: (1) Laporan kepada Bupati/Walikota (melalui camat), (2) Laporan Semesteran Realiasasi Pelaksanaan APB Desa, (3) Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APB Desa kepada Bupati/Walikota setiap akhir tahun anggaran dan (4) Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa. Laporan kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berupa laporan keterangan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDes terdiri dari Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan.
Beberapa kasus korupsi yang menimpa pemerintah desa dalam penyalahgunaan wewenang, anggaran, korupsi aset, dan pengadaan barang dan jasa. Menurutnya KPK menemukan 14 potensi persoalan dana desa yang terdiri dari 4 (empat), yaitu aspek regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan dan sumber daya manusia. Empat aspek itu yang dapat mempengaruhi terjadinya korupsi di pemerintah desa.
Diimplementasikannya Undang-Undang Desa menjadi perbincangan banyak kalangan dalam pengelolaan keuangan desa, yang di dalamnya terdapat pengelolaan sumber daya desa. Pengelolaan dana desa yang diatur dalam Undang-Undang Desa memacu kesiapan kepala desa dalam pelaksanaannya. Berbagai alasan dan faktor disampaikan oleh masyarakat terkait dengan kesiapan kepala desa dan aparatur desa, infrastruktur desa serta kepemimpinan kepala desa. Undang-Undang Desa memberikan kewenangan secara otonom kepada pemerintah desa dalam mengelola dan mengembangkan desanya.
Masyarakat desa lebih sejahtera dengan berbagai program pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya desa. Pemerintah desa dapat melakukan pola peningkatan ekonomi desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) serta melakukan berbagai pembangunan infrastruktur yang dapat menunjang peningkatan ekonomi desa. Dari desa membangun negeri menjadi terwujud.
Sementara itu, dalam sosialisasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengemukakan, bahwa penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa sebagai sumber daya desa adalah dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang kabupaten/kota. Arah pembangunan kawasan perdesaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Desa adalah mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, sesuai dengan Undang- Undang Desa bahwa pembangunan kawasan perdesaan menjadi bagian penting dalam pembangunan desa, termasuk di dalamnya adalah pengelolaan sumber daya alam desa. Pengelolaan sumber daya alam desa harus melibatkan peran serta masyarakat melalui pemberdayaan untuk peningkatan ekonomi masyarakat desa, demi perwujudan teori pengendalian sosial dan teori sistem dalam pemerintahan.
Tindakan Preventif Penyelamatan Dana Desa
Upaya penyelamatan dana desa pada penggunaan dana desa dari perbuatan korupsi adalah sebagai berikut: Pertama, MoU dengan masyarakat dengan tujuan berkomitmen membangun desa secara bersama tim pengawasan dana desa; Kedua, pembentukan tim pengawas yang independen untuk mengawasi jalannya proses pengelolaan dana desa; ketiga, siap disumpah yaitu aparat desa di sumpah dengan menggunakan kitab suci masing-masing agama; keempat sanksi yang tegas dengan tujuan untuk memberikan kepada pelaku penyalahgunaan dana desa. Sehingga diharapkan bahwa Aparat Desa, dapat berkomitmen dengan sungguh dalam pengelolaan dana desa, sehingga tidak berniat untuk melakukan korupsi begitu pula dengan masyarakat Desa, dapat melibatkan diri secara aktif, yang dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap penggunaan dana desa, sehingga proses pembangunan desa dapat terealisasi.