Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan adalah penggunaan seluruh kekuatan fisik demi mendapatkan kekuasaan yang biasanya disertai dengan ancaman. Kekerasan ini mengakibatkan kerugian bagi pihak lain, seperti luka memar, kematian, kerugian secara psikologis, dan lain sebagainya. Kekerasan yang terjadi dalam lingkup keluarga atau rumah tangga dapat disebut sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Dalam waktu dekat ini, masyarakat digemparkan pemberitaan terkait pasangan muda artis Rizky Billar-Lesti Kejora yang diduga KDRT. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, per Oktober 2022, sudah ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia. 79,5% korban adalah perempuan dan 20,5% korban laki-laki. Dengan kata lain, korban KDRT sebetulnya tidak selalu perempuan.
Banyak kasus KDRT dengan mudah viral di media sosial. Namun, sebenarnya masih banyak korban KDRT yang tidak berani melaporkan kepada penegak hukum atau pihak yang berwenang lainnya. Sikap ini karena pertimbangan yang membuat korban KDRT menahan diri untuk bungkam terkait permasaahannya. Hal ini menginidikasikan bahwa jika permasalahan kekerasan seperti ini tidak diusut sampai tuntas, KDRT akan selalu bertambah setiap tahunnya.
Ada beberapa faktor yang membuat korban KDRT tidak speak up dan melaporkan ke pihak berwajib. Pertama, kurangnya pengetahuan korban sehingga harus meminta bantuan untuk melaporkan kasusnya. Kedua, korban mendapat ancaman dari pelaku KDRT apabila melaporkan kasusnya. Ketiga, masih bergantungnya korban terhadap penghasilan pelaku. Keadaan ini biasa terjadi terhadap pihak perempuan yang tidak berpenghasilan sendiri, sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga harus mengurus anak-anaknya.
KDRT merupakan kasus yang bersifat lex specialist sehingga dalam penerapan hukumnya mengikuti UU No. 23 tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU No. 23 tahun 2004 mengatur larangan, hak dan kewajiban pihak-pihak terkait KDRT. UU ini merupakan jaminan negara dalam mencegah terjadinya KDRT, Melindungi korban KDRT, dan juga menindak pelaku KDRT.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang acuh terhadao UU ini, sedangkan negara Indonesia merupakan negara hukum. Seharusnya masyarakat Indonesia lebih peka dalam mencegah KDRT dengan memahami substansi UU ini, termasuk sikap yang perlu dilakukan apabila terjadi KDRT. Bukan hanya kepekaan masyarakat yang perlu dimasifkan, akan tetapi pemerintah juga perlu terus menyosialisasikan UU ini. Sosialisasi bertujuan untuk meminimalisasi tingginya jumlah KDRT di Indonesia.
Hak-hak Korban KDRT
Banyak korban KDRT masih kurang pengetahuan hukum dan hak-haknya yang dilindungi oleh undang-undang. Konsekuensinya, banyak kasus KDRT yang tidak mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum karena tidak terlaporkan. Dalam Pasal 10 UU No. 23 tahun 2004, korban KDRT berhak:
- Mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan lembaga sosial
- Mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
- Mendapatkan penanganan khusus sesuai dengan kerahasiaan korban KDRT.
- Mendapat pendampingan oleh pekerja sosial atau bantuan hukum.
- Mendapat pelayanan bimbingan rohani.
Oleh karena itu, korban KDRT sesungguhnya berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum sehingga tidak perlu takut lagi apabila mendapatkan tekanan dari pihak pelaku. Selain itu, ada beberapa lembaga negara yang berhak memberi perlindungan terhadap korban KDRT, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dalam Ppsal 26 UU No. 23 tahun 2004, korban juga berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Peran KPPPA
KPPA telah membuat beberapa program seperti rumah tangga tangguh. Program ini memiliki target pasangan muda yang mempersiapkan pernikahan agar terhindari dari KDRT, yang dapat mengakibatkan perceraian.
Selain program di atas, KPPPA juga berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres setempat.
Peran LPSK
LPSK merupakan lembaga negara nonstruktural yang dibentuk dengan tujuan untuk melindungi dan memberi bantuan pada saksi dan korban. Dalam Pasal 5 UU No. 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya dan mendapat pendampingan.
Selain itu, saksi dan korban pelanggaran HAM berat, tindak pidana terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, dan penganiayaan berat juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Berdasarkan Pasal 10 UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT juncto Pasal 5 dan 6 UU Perlindungan Saksi dan Korban, korban KDRT sudah terjamin secara hukum untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Oleh karena itu, korban KDRT diharapkan berani speak up dengan melaporkan kasusnya, tidak perlu takut lagi dengan ancaman dari pihak pelaku. Sementara itu, pemerintah perlu lebih serius dalam penanganan KDRT. Apabila masyarakat sudah berperan aktif dalam pencegahan KDRT, akan tetapi dalam penyelesaiaannya tidak dilakukan secara masif, kasus KDRT akan terus bertambah dan pemerintah perlu berperan dalam aspek ini.