Dalam konteks ini pemahaman restorasi menjadi linier dengan tujuan harmonisasi masyarakat yang digaungkan Pemerintah dan Polri, sebaliknya pengabaian terhadap motif pelaku dengan penerapan keadilan restoratif secara serampangan akan menyebabkan timbulnya niat jahat yang tetap tersembunyi dan tidak terdeteksi karena dibungkus oleh upaya harmonisasi melalui restorative justice.
Dalam konteks yang berbeda keadilan restoratif faktanya tidak mudah untuk diterapkan karena harmonisasi yang dimaksudkan tidak mungkin mengabaikan sistem sosial yang berlaku di masyarakat. Semangat restitusi (ganti rugi) dan reparasi (memperbaiki) haruslah dibarengi dengan kejujuran empiris bahwa kedua-duanya seolah-olah mengarahkan kita pada suatu objek material atau upaya pengganti yang hendak diberikan oleh pelaku untuk menebus tindak pidana terhadap korban.
Sehingga tantangan yang menjadi acuan pemikiran adalah bercokolnya bentuk ketidakadilan baru dalam upaya perwujudan keadilan restoratif di mana keadilan model ini seakan-akan menjadi dominasi kaum the have atau orang kaya dalam pengertian memiliki potensi harta, kuasa, dan jabatan yang dapat mempengaruhi terwujudnya sebuah keadilan restoratif atau jalan damai.
Dalam konteks ini secara objektif memunculkan keraguan, mungkinkah pelaku tindak pidana yang miskin secara materi dan edukasi dapat memperoleh keadilan restoratif dalam skala yang sama karena spirit keadilan restoratif yang melekat pada ganti rugi dan pemulihan kondisi korban atau objek kejahatan. Ataukah sebenarnya dalam konteks tertentu keadilan restoratif sesungguhnya tidak benar-benar adil dan cenderung berorientasi pada anasir-anasir di luar keadilan hukum bahkan ikut terjebak pada pola pikir keadilan stratitifikasi sosial, sehingga substansinya menjadi bias dan manipulatif.