Dalam konsepsinya, pandangan ini dapat dipersepsikan sebagai solusi terbaik saat ini untuk menyikapi permasalahan-permasalahan lainnya, seputar penanganan kasus pidana misalnya tingkat hunian lapas yang over capacity, tidak adanya restitusi dan reparasi terhadap korban pidana, serta lemahnya upaya rekondisi suatu perbuatan dan akibat pidana jika hukuman pidana selalu bermakna pemenjaraan atau kurungan badan.
Wacana ini tidak berlebihan namun tidak sepenuhnya mengandung kebenaran praktis. Karena, pola restitutif-reparatif atau pilihan pemenjaraan dalam konteks ini sangat ditentukan oleh pihak korban dan pelaku. Dengan kata lain, jika korban dan pelaku bersepakat menempuh jalan damai maka keadilan restoratif dapat terwujud, sebaliknya jika kedua pihak tidak menemukan kata sepakat untuk berdamai maka pidana kurungan merupakan pilihan proses yang tak terelakkan.
Sub kondisi keadilan restoratif yang secara umum diterima sebagai kesepakatan damai antara para pihak sebenarnya menciptakan bias dan kontra produktif terhadap semangat restoratif dalam pidana. Keadilan restoratif seharusnya ditinjau secara lebih komprehensif dan ekstensif melalui panduan interdisipliner tentang pra kondisi keberlakuan suatu keadilan restoratif.
Bahkan pembatasan pada jenis kasus tertentu yang dapat dilakukan restorasi pun tidak solutif karena hanya melihat masif tidaknya akibat perbuatan pelaku, bukan pada mens rea (niat jahat) yang timbul dari suatu perbuatan pidana. Karena sebenarnya inti perbuatan pidana adalah ada atau tidaknya dolus (kesengajaan) pelaku yang dibuktikan oleh adanya niat jahat, bukan saja pada masif atau tidaknya korban yang ditimbulkannya. Jadi argumentasi hukum yang ingin dikonstruksikan adalah keadilan restoratif secara rasional dan afektif “memaafkan” perbuatan pidana yang tidak sungguh-sungguh ingin dilakukan (ketidaksengajaan), bukan perbuatan pidana yang didasari oleh niat dan hasil perbuatan pelaku.