Telah dijelaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja ataupun kelalaian yang secara hukum melawan, mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut hak asasi seseorang atau kelompok yang dijamin undang-undang ini dan tidak bisa mendapat atau dikhawatirkan tidak akan bisa memperoleh penyelesaian hukum secara adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Bulan September menjadi bukti masa kelam penegakan hukum terhadap kejahatan pelanggaran HAM. Seringkali keluarga korban kejahatan dan aktivis HAM menyebutnya sebagai bulan hitam untuk Indonesia. Penyebutan September bulan hitam ini cukup beralasan karena mengingat penegakan hukum pada bidang HAM yang senantiasa terjadi pada beberapa bulan September pada tahun-tahun yang telah terjadi namun hampir tidak pernah terselesaikan di Indonesia.
Beberapa peristiwa kelam HAM di bulan September dari masa ke masa senantiasa hadir dalam mengingatkan negara untuk memenuhi tanggung jawabnya. Tragedi pembantaian 1965-1966, Tragedi Tanjung Priok 1984, Tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, hingga Reformasi Dikorupsi 2019 menunjukkan rantaian kekerasan yang terus berlanjut tanpa ada satu pun mata rantai yang diselesaikan secara tuntas dan secara berkeadilan.
Kasus awal yang terjadi pada bulan September yaitu Tragedi 1965-1966 merupakan pembantaian terhadap mereka yang dituduh sebagai kelompok komunis yang ingin menguasai pemerintahan. Komnas HAM telah melakukan penyelidikan selama tiga tahun, sejak bulan Mei 2008 hingga Januari 2012. Komnas HAM menyebutkan telah memeriksa sebanyak 357 saksi korban yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia (Surat Komnas HAM No. 001/PTH-65/i/11).
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa jumlah korban dalam Tragedi 65-66 adalah 500.000 hingga tiga juta jiwa. Pengungkapan kasus ini terkendala akibat para pihak dari unsur pemerintah tidak bersedia untuk dimintai keterangan dan tidak adanya persetujuan dari Jaksa Agung dan Pengadilan untuk melakukan pemeriksaan lapangan, seperti locus tindak pidana, kuburan massal, dan lain-lain.
Kemudian yang kedua yaitu Tragedi Tanjung Priok pada tanggal 12 September 1984. Kasus ini juga termasuk kejahatan HAM yang melibatkan aparat negara. Tragedi Tanjung Priok setidaknya menelan korban jiwa sebanyak 24 orang. Para korban yang meninggal terbukti diakibatkan karena adanya brutalitas apparat yang menembak mereka dengan senjata api dan 55 orang lainnya luka parah.
Hal tersebut adalah laporan Komnas HAM tertanggal 11 Oktober 2000. Laporan yang dirilis Komnas HAM juga menyebutkan setidaknya terdapat 23 oknum aparat TNI terlibat dalam penyerangan terhadap warga yang tinggal di Tanjung Priok.