Lantas, ketika negara kita telah berevolusi dan saat ini kita menikmati yang namanya demokrasi, penegakan hukum yang semakin adil, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM); mengapa di era Reformasi yang mapan ini arus gerakan tidak memberikan suara atau golongan putih masih tetap awet?
Pemilu merupakan satu dari berbagai langkah yang menunjukkan eksistensi suatu negara dalam menerapkan demokrasi, walau tidak serta merta bahwa dengan adanya Pemilu menunjukkan kualitas berdemokrasi. Namun, gebrakan perubahan demi meraih perlindungan hak asasi manusia yang lebih baik telah berhasil. Konstitusi Indonesia menjamin hak-hak setiap warga negara. Artinya, setiap warga negara Indonesia merdeka mengeluarkan pendapat, itulah hak. Serupa dengan pilihan di antara ‘memilih’ atau ‘tidak memilih’, itulah ekspresi politik yang juga merupakan hak.
Manifestasi golongan putih di Indonesia saat pemilu pada umumnya dilakukan dalam bentuk tidak menghadiri tempat pemungutan suara di hari pemilu, menghadiri tempat pemungutan suara namun mencoblos lebih dari satu calon hingga bahkan merusak atau mengotori surat suara, serta seseorang yang hadir di tempat pemungutan suara namun mencoblos dengan menusuk di luar ketentuan.
Ketika Pemilu 1971, Arif Budiman mengalasankan golput karena keotoriteran pemerintah Orde Baru. Sayang, masa-masa tersebut tidak serta merta menghilangkan perilaku golput meski Orde Baru telah ditumbangkan. Justru, angka golput pada setiap Pemilu di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Pada Pemilu tahun 1999 angka golput mencapai 7,4 persen. Pada Pemilu berikutnya ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) digelar secara langsung, angka golput pada Pilpres mencapai 21,8 persen dan 23,4 persen pada putaran kedua. Sedangkan pada Pemilihan Legislatif (Pileg), angka golput terjadi sebesar 15,9 persen.